Syahwat KPK dan Begal Demokrat (Upaya Menggergaji Anies Baswedan)
Oleh: Ady Amar (Penulis Buku 'Tak Tumbang Dicerca, Tak Terbang Dipuja')
Tak
sedikit pun berpikir gergaji itu mampu merobohkan batang pohon yang sekuat
Anies Baswedan.
Selang
sehari Partai Demokrat resmi mengusung Anies Rasyid Baswedan jadi bakal calon
presiden (Bacapres) pada Pilpres 2024, Moeldoko mengiringi mengajukan
peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA), 3 Maret 2023. Katanya, ada 4
bukti baru (novum) ditemukan. Itu yang akan diujikan di MA, tentang keabsahan
"kepemilikan" Partai Demokrat.
Ketua
umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) mengatakan, bahwa yang
diajukan Moeldoko dan Jhoni Allen Marbun itu bukanlah bukti baru. Semuanya
sudah pernah diajukan di PTUN, dan ditolak. Tidak persis tahu 4 novum yang
diajukan ke MA itu isinya macam apa.
Putusan
MA sudah jelas memenangkan Partai Demokrat pimpinan Ketua Umum AHY. Mestinya
semuanya sudah selesai, bahwa yang sah adalah Partai Demokrat di bawah ketua
umum AHY, yang dipilih secara aklamasi pada Kongres V Partai Demokrat, 15 Maret
2020, di Jakarta. PK dengan novum yang ditemukan, padahal sudah pernah diuji,
ini terasa janggal, mengada-ada. Kita lihat saja bagaimana MA menyikapinya.
Langkah
Moeldoko itu, jika ditarik pada Pilpres 2024, tidaklah aneh. Jika putusan MA
nantinya mengakui keabsahan Partai Demokrat, hasil Kongres Luar Biasa (KLB), 5
Maret 2021 di Deli Serdang, Sumatera Utara. Di mana Moeldoko terpilih sebagai
Ketua Umum, dan Jhoni Allen Marbun sebagai Sekjen.
Maka
bisa dipastikan gairah menghadirkan perubahan bersama Anies Baswedan di 2024
menjadi pupus. Moeldoko bisa dipastikan akan menghentikan hadirnya Koalisi
Perubahan untuk Persatuan (NasDem, Demokrat, PKS), yang sebelumnya deklarasi sepakat
mencapreskan Anies Baswedan. Dengan dibegalnya Demokrat, maka NasDem dan PKS
jumlah persyaratan untuk mengajukan Anies sebagai capres buyar berantakan.
Segala
upaya menggagalkan pencapresan Anies dengan cara "membegal" Demokrat
itu disampaikan AHY di hadapan ratusan kader Demokrat, 3 April 2023, tentang
pengajuan novum ke MA oleh Moeldoko dan Jhoni Allen Marbun.
"Ada
upaya serius untuk membubarkan Koalisi Persatuan (KPP), tentu salah satu
caranya adalah dengan mengambil alih Partai Demokrat, karena Demokrat merupakan
salah satu kekuatan dari perubahan selama ini," ujar AHY dan disambut
kader Demokrat dengan teriakan, lawan... lawan...!
Semua
menjadi mafhum, bahwa "menggergaji" Anies--disebut menggergaji karena
dilakukan berbagai cara dan modus berlapis untuk menggagalkan pencapresan
Anies. Anies ibarat batang pohon kokoh yang coba digergaji dari segala sudut.
Karenanya,
begal Demokrat itu lebih pada sasaran antara, bagian dari menggergaji Anies
agar tidak melenggang di 2024 nanti. Moeldoko, yang menjabat sebagai Kepala
Staf Presiden (KSP), mustahil langkah begalnya itu tidak direstui Presiden Joko
Widodo. Justru langkahnya itu bagian dari skenario istana yang cawe-cawe ikut
menentukan suksesi 2024 yang tidak semestinya.
Sedang
menggergaji Anies lainnya, itu bisa dilihat dari syahwat KPK menersangkakan
Anies. Lewat Formula E, upaya KPK terus mencari celah menersangkakan
Anies. Belum berhasil, meski itu harus
menumbalkan pimpinan struktural KPK yang masih punya nurani, dan mesti dipecat.
Adalah
Karyoto dan Endar Priantoro, keduanya dari unsur kepolisian. Mereka berdua
dikembalikan ke institusinya karena masa tugasnya sudah berakhir. Meski Endar
Priantoro masa jabatannya oleh Kapolri diperpanjang, tapi tetap saja pintu
untuk Endar di KPK tertutup. Karyoto dan Endar ini disebut-sebut 2 orang yang
menolak kasus Formula E dinaikkan statusnya dari penyelidikan ke penyidikan,
karena tidak cukup alat bukti. Dua orang itu bisalah dianggap
menghalang-halangi menersangkakan Anies.
Ada
pula pejabat dari unsur Kejaksaan yang memilih kembali ke institusinya, dan
lagi-lagi itu yang termasuk keberatan "menersangkakan" Anies. Meski
alasan mundur yang dibuat, itu dalam rangka ingin mengembangkan karir di korps
Adhyaksa.
Tampak
kasat mata KPK jadi alat kepentingan kekuasaan (politik) rezim menersangkakan
Anies, dan itu dipertontonkan dengan terang benderang. Bersyukur di KPK masih
tersisa beberapa pimpinan yang masih punya nurani dan marwah, yang tidak
diombang-ambingkan kepentingan politik menghalalkan segala cara.
Disusul
respons perlawanan muncul di internal KPK atas pemecatan Endar Priantoro, yang
tidak diterima oleh sejawatnya dari unsur kepolisian. Dibuatlah surat, lebih
pada petisi terbuka, pada pimpinan KPK. Intinya, apabila pemecatan terhadap
Endar tidak dicabut, maka mereka lebih memilih kembali pada induknya
(kepolisian). Artinya, semua akan meninggalkan KPK. Buat mereka itu bukan
sekadar personal Endar, tapi lebih membawa nama institusi kepolisian.
Menggergaji
Anies lainnya, itu dimainkan lewat buzzerRp, yang kerjanya meneriakkan Anies
intoleran, dan bahkan teriakan rasis yang terus-menerus digaungkan dengan
berbagai variannya. Mereka seperti layaknya bekerja saja dengan gaji yang tidak
sedikit, dan tentu dinilai senioritas dan kualitas cacian yang dibuat. Entah
sudah berapa ratus milyar rupiah dibuat untuk itu. Hanya untuk mengesankan
Anies dengan tidak sebenarnya.
Sedang
gergaji lainnya dimainkan lewat lembaga survei bayaran, yang terus merilis
hasil surveinya, yang menempatkan Anies lebih selalu di posisi 3 besar.
Biasanya Ganjar Pranowo di posisi pertama, tapi bisa juga Prabowo Subianto yang
di posisi pertama. Seolah berbagi posisi pertama dan kedua diperuntukan hanya
di kedua nama itu saja. Semua lembaga survei papan atas, yang populer di
telinga, bahkan tiap bulan merilis hasil surveinya, seolah tiap bulan
kecenderungan pilihan orang bisa secepat itu berubah dalam menentukan
pilihannya.
Menggelontorkan
uang untuk "menggergaji" Anies tidak lagi berpikir berapa banyak
nominal uang yang dikeluarkan, layaknya uang tidak berseri saja. Bayangkan saja
ada satu lembaga survei yang dikontrak setahun Rp 100 milyar. Pastilah akan
aktif tiap bulan merilis hasil survei-surveiannya. Jangan tanya uang itu dari
mana sumbernya. Mustahil bisa terjawab saat ini. Tapi pada saatnya pasti akan
terjawab.
Menggergaji
Anies Baswedan untuk tidak ikut dalam kontestasi Pilpres 2024, ternyata mahal
harganya. Manusia langka dengan integritas semacam Anies ini pantas jika punya
nilai tak ternilai. Melihat gergaji terus dimainkan dari seluruh penjuru,
sedikit pun tidak membuat down pecinta Anies, terutama para relawan yang terus
bekerja mensosialisasikan Anies siang malam tanpa henti-tanpa lelah. Tetap
dengan semangat optimis berharap hadirnya perubahan. Dan, tak sedikit pun
berpikir gergaji itu mampu merobohkan batang pohon yang sekuat Anies Baswedan.
(*)
Komentar
Posting Komentar