Anies dan Jokowi Dalam Pergulatan Transisi Pemerintahan
Broniesupdate, Jakarta --- Setelah Partai Nasional Demokrat (NasDem), Partai Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bersepakat untuk membentuk poros Koalisi Perubahan Untuk Persatuan (KPP), yang akan menjadi skoci Anies Baswedan pada Pilpres 2024. Kesepakatan tersebut ditandatangani oleh pimpinan ketiga parpol pengusung dalam bentuk Piagam Kerjasama Tiga Partai yang juga sebagai Nota kesepahaman (MoU) dari partai pengusung.
Namun
berbeda dengan kubu Istana, koalisi pengusung Anies Baswedan sudah pasti
berpotensi menjadi penjegal rezim pemerintah untuk terus berkuasa. Skenario ‘All Jokowi’s Men’ harus tetap dimainkan
untuk menjawab tantangan koalisi perubahan. Terlihat pemerintah terus mensosialisasikan
aset-aset terbaiknya untuk menarik simpati masyarakat dengan harapan dapat
menyaingi Anies pada pilpres 2024 mendatang. Berbagai cara dilakukan, mulai
dari diajak ke setiap kunjungan dan peresmian bersama presiden sampai rangkap
jabatan untuk posisi yang dinilai strategis dalam peliputan media dan
penggalangan masa.
Salah
satu upaya tersebut adalah melalui lembaga survei. Dalam Survei Indikator
Politik Indonesia elektabilitas Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick
Tohir meningkat ke angka 17,6 persen dan membuat Erik Tohir digadang-gadang
sebagai Calon Wakil Presiden (Cawapres) 2024. Padahal pada bulan November lalu
elektabilitasnya hanya 12,9 persen. Peningkatan ini dikarenakan karena ia
didapuk sebagai Ketua Pelaksana Harlah NU beberapa waktu lalu dan saat ini juga
menjabat sebagai Ketua PSSI.
Sementara
itu untuk posisi Calon Presiden, Indikator Politik Indonesia masih terpaku pada
tiga calon yaitu Ganjar Pranowo (36,8 persen), Prabowo Subianto (27 persen) dan
Anies Baswedan merangsek ke posisi buncit dengan (26,8 persen). Dari ketiga
kandidat capres tersebut hanya Ganjar Pranowo konsisten menguat. Prabowo
mengalami peningkatan elektabilitas yang signifikan sejak Februari lalu.
Peningkatan itu sendiri tidak tanggung-tanggung, sebesar 18,2 persen diberikan
kepadanya, sementara penurunan yang signifikan dialami Anies sejak Desember
tahun lalu.
Survei
Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) mengeluarkan hasil survey yang
menyebutkan bahwa Anies Baswedan tidak akan melanjutkan program kerja
pemerintahan saat ini bila ia memenangi pilpres 2024. Dikutip dari bisnis.com,
dalam keterangan tertulis pada Seniin (27/03/2023), Direktur Riset SMRC Deni
Irvani menjelaskan dalam survei itu responden disodorkan nama bakal calon
presiden (bacapres) potensial, yaitu Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, dan
Anies Baswedan.
Saat
ditanya, siapa yang paling bisa melanjutkan program pemerintahan Jokowi, Ganjar
jadi sosok yang paling banyak dipilih sebesar 35,8 persen, disusul Prabowo 23,9
persen, dan Anies dengan 20,5 persen. Lantas dengan pertanyaan yang di balik
yaitu siapa diantara lima nama itu yang dirasa paling tidak mungkin melanjutkan
program pemerintahan Jokowi. Anies berada diurutan pertama dengan memperoleh
21,3 persen suara, diikuti prabowo 15,4 persen, dan Ganjar 9,6 persen. Seperti
yang kita ketahui baik lembaga Indikator Politik dan SMRC adalah dua dari vendor-vendor
pemerintah yang bertugas untuk mengerek elektabilitas dari calon-calon
pilihannya sekaligus melakukan framing terhadap Anies.
Mengapa
Jokowi sangat ngotot memberikan persyaratan bagi ‘the Indonesia’s next president’ untuk melanjutkan kebijakan dan program
kerja yang telah ditetapkannya. Kebijakan dan program kerja mana saja yang
harus dilanjutkan oleh calon-calon presiden setelah kelengserannya pada 2024
nanti. Mari kita berkaca pada tahun kedua dari periode kedua kepemimpinan
Jokowi, kita lihat dari rentetan Undang-Undang yang disahkan pemerintah bersama
DPR sehingga memancing reaksi publik karena dianggap tidak memihak kepada
rakyat kecil dan lebih meguntungkan pihak pengusaha dan investor.
UU Nomor 19 Tahun 2019 Tentang KPK
Terbitnya
UU No.19 Tahun 2029 tentang perubahan kedua atas UU No.30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) membawa perubahan terhadap
kinerja KPK jika dibandingkan dengan kinerja KPK sebelum berlakunya UU itu.
Terbitnya undang-undang tersebut sempat menimbulkan penolakan dari sejumlah
tokoh politik dan elemen masyarakat karena proses pengesahannya begitu cepat
dan materinya dinilai melemahkan KPK.
Salah
satu pasal dalam undang-undang yang dinilai mengkerdilkan KPK ada dalam pasal 3
UU No. 19 Tahun 2019 yaitu mengatur KPK adalah lembaga negara dalam rumpun
kekuasaan eksekutif. Meski pasal ini menyebut dalam melaksanakan tugas dan
wewenag KPK bersifat independen dan bebas dari kekuasaan manapun, tapi tetap
saja KPK berpotensi menjadi alat bagi pemerintah.
UU Nomor 3 tahun 2020 tentang Minerba
Sebelum
disahkan Undang-Undang Mineral dan Batubara (UU Minerba) sudah mendapatkan banyak
aksi penolakan, mulai dari masyarakat daerah sekitar tambang, petani, nelayan
dan berbagai LSM. Meskipun demikian pada 10 Juni 2020, presiden Jokowi tetap
menandatangani UU Minerba padahal isi pasal-pasal dalam undang-undang tersebut
sangat kontroversial bahkan mengabaikan sisi kontroversi lingkungan hibup serta
jauh dari tujuan mensejahterakan rakyat.
Lantas
apa saja resiko yang akan diderita oleh rakyat akibat dari disahkannya
undang-undang tersebut, diantaranya
adalah:
-
Masyarakat tidak lagi bisa protes ke
pemerintah daerah, karena semua kebijakan tersentralisasi oleh pemerintah
pusat.
-
Masyarakat dapat dipolisikan oleh
perusahaan pertambangan apabila mengganggu aktivitas penambangan, ini merujuk
pada Pasal 162 UU Minerba No. 3 Tahun 2020.
-
Perusahaan tambang masih bisa beroperasi
meskipun terbukti merusak lingkungan yaitu pemerintah membebaskan kewajiban
reklamasi dan kegiatan pascatambang.
-
Perusahaan tambang bisa mengeruk
keuntungan sebanyak mungkin, bahkan mendapat jaminan royalti 0%.
Terlihat
jelas sekali melalui UU Minerba No.3 Tahun 2020 serta beberapa perubahan Pasal
dalam UU Cipta Kerja, Pemerintah Pusat bersama oligarki korporasi sangat
bernafsu untuk menghabisi sumber daya alam yang masih tersisa di Indonesia.
Perpu Cipta Kerja
Peraturan
pemerintah pengganti Undang-Undang
(Perpu) tentang Cipta Kerja baru-baru ini telah disahkan menjadi
Undang-Undang oleh DPR RI dalam rapat paripurna di Gedung DPR, Senayan pada
Selasa (21/03/2023). Meskipun banjir oleh penolakan tetapi pada akhirnya ketua DPR
RI Puan Maharani tetap mengetuk palu tanda disahkannya perpu tersebut menjadi
UU.
Presiden
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal mengatakan sedikitnya
ada 5 substansi UU Ciptakerja dari klaster ketenagakerjaan yang merugikan
buruh. Arah kebijakan cenderung kearah pemberian upah yang murah, dihapusya
batas waktu hubungan kerja secara kontrak, hilangnya jenis pekerjaan yang bisa
di outsourcing, berkurangnya kompensasi pesangon, dan semakin mudah bagi perusahaan
untuk melakukan PHK karyawan, serta yang juga digaris bawahi adalah mudahnya
bagi TKA untuk bekerja di Indonesia.
Contoh
diatas hanya sekelumit dari UU kontroversial yang dilahirkan oleh Jokowi di periode
kedua kepemimpinannya, kita tidak usah bicara tentang UU Nomor 2 tahun 2020
tentang kebijakan keuangan terkait Covid-19, UU Nomor 7 Tahun 2020 Tentang
Mahkamah Konstitusi, UU Nomor 3 tahun 2020 tentang Ibu Kota Negara (IKN) yang
pembangunannya jika dipaksakan akan berdampak buruk bagi perkembangan ekonomi
dan berpotensi besar merusak lingkungan hidup. Lantas bagaimana dengan tragedi
hukum dan demokrasi di era kepemimpinan Jokowi, tentunya ini menjadi catatan
tersendiri.
Lantas
apakah kebijakan-kebijakan itu yang akan diteruskan oleh Anies Baswedan apabila
dirinya terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia pada 2024 nanti? Anies
harus mampu mengembalikan demokrasi dan konstitusi kearah yang benar, seperti
apa yang sudah diperjuangkan dan dirumuskan pada tahun 1998 silam.
Anies
Baswedan tentunya memahami, bahwa dirinya adalah bakal calon presiden yang muncul
dari sudut gelap yang tak pernah disangka-sangka oleh politisi manapun bahkan
oleh Jokowi sendiri. Figur pemimpin yang lahir dan dibesarkan rakyat, yang
diharapkan mampu memberikan kesejahteraan pada rakyatnya. Red
Komentar
Posting Komentar