Menunggu Adu Gagasan Para Capres
Oleh : Tony Rosyid (Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)
Banyak
yang menunggu debat para bakal calon presiden. Mana gagasannya? Mana ide-ide
besarnya untuk bangsa? Sejumlah orang terus menuntut agar bakal capres
memunculkan design negara masa depan.
Adu
gagasan, wajib. Perang ide, harus. Indonesia negara besar, butuh pemimpin yang
punya gagasan besar. Gagasan itu kemudian diuji, baik oleh kandidat lain,
maupun oleh para ahli di bidangnya. Gagasan juga harus diuji, apakah bisa
direalisasikan, atau hanya wacana.
Bagaimana
mengukur gagasan itu bisa direalisasikan atau hanya sekedar wacana? Pertama,
kondisi obyektif nasional dan global saat ini, juga di masa depan, memungkinkan
tidak merealisasikan gagasan-gagasan itu. Kondisi ekonomi, politik, keamanan,
pendidikan, dst. Jadi, gagasan mesti membumi. Memang gagasan itu dibutuhkan
oleh bangsa ini dan bisa direalisasikan.
Kedua,
lihat record bacapres yang punya gagasan itu. Pembual? Atau dia adalah orang
yang selama ini punya komitmen terhadap janji-janjinya. Ini soal integritas.
Belum lagi soal kapasitas. Orang ini punya pengalaman tidak di pemerintahan.
Apa yang sudah dibuat ketika ia menjadi pejabat di pemerintahan selama ini.
Entah sebagai menteri, kepala daerah atau pejabat tinggi setingkat itu.
Termasuk pejabat sukses, atau pejabat gagal. Ada tidak terobosan-terobosan baru
yang dibuatnya selama menjabat. Kalau
tidak, itu semua omong kosong. Gagasan tidak lebih dari bualan yang disiapkan
oleh "para tukang" yang dikontrak.
Meskipun
jika jadi presiden nanti akan dikelilingi oleh para tenaga ahli yang mumpuni,
tapi kapasitas menjadi inspirator dan penggerak mempengaruhi kerja tim dan
kualitas tereksekusinya sebuah gagasan. Di sini, diperlukan karakter
leadership. Leadership ini bisa dilihat dan dibaca dari record orang tersebut
dalam menjabat dan memimpin sebelumnya.
Gagasan
dan ide besar itu saat ini belum muncul. Meski banyak yang menyuarakan. Kenapa?
Karena tidak menguntungkan, bahkan cenderung berisiko secara politik.
Ketika
saat ini muncul sebuah gagasan dari kandudat, maka segera akan dibaca apakah
ini bagian yang setuju dan mendukung program rezim sebelumnya, atau berbeda.
Jika beda, ini punya konsekuensi politik yang sangat serius. Akan dianggap
melawan dan jadi ancaman. Gagasan belum muncul saja, sudah ada yang dwasoadai
dan dicurigai akan menghentikan program-program rezim.
Misal,
ketika gagasan itu menyangkut IKN. Ini hal sensitif bagi rezim sekarang.
Menolak, itu sama halnya menabuh genderang perang.
Ruang
ber-ide sering harus berhadapan dengan kepentingan kekuasaan. Penguasa menjadi
variable penting bagi kondusif tidaknya ber-ide dan kebebasaj mengemukakan
pendapat. Apalagi, jika gagasan bacapres bersinggungan dengan rencana program
penguasa. Bahaya! Indonesia belum seperti Amerika, atau negara-negara maju
lainnya yang matang dalam berdemokrasi.
Di
sisi lain, para pemilih di Indonesia mayoritas masih sangat emosional. Pemilih
berbasis psikologis (baper) dan sosiologis (berbasis identitas) jauh lebih
besar jumlahnya dibanding pemilih rasional. Umumnya, pemilih masih belum bisa
merespon dan mendiskusikan gagasan para kandidat itu secara rasional. Ini jadi
masalah tersendiri. Apalagi, kondisi pemilih saat ini sedang dibelah oleh
manuver para buzzer yang rajin memprovokasi dengan berita-berita hoaks. Gagasan
tidak dilihat dari kualitasnya, tapi justru dijadikan instrumen untuk saling
bully.
Akan
ada waktunya para kandidat nanti mendapatkan panggung dan timing yang tepat
untuk beradu ide dan gagasan. Ini terjadi ketika masing-masing kandidat sudah
jelas tiketnya dan jelas siapa lawannya.
Setelah
para bakal calon dipastikan dapat tiket, di situ akan banyak mimbar untuk adu
gagasan. Kampus, TV, lembaga-lembaga swasta dan sejumlah komunitas akan
menyiapkan panggung buat bakal calon. Terakhir, ada 5 kali debat resmi KPU di
TV. Itupun kalau tidak ada kepentingan tertentu untuk memangkasnya.
Jadi,
rakyat harus bersabar untuk menunggu waktu yang tepat bagi bacapres
mengeluarkan gagasan dan ide besarnya tentang design masa depan Indonesia.
Banyak faktor, politis maupun non politis yang membuat para bacapres terpaksa
menunggu panggung yang tepat.
Jakarta,
12 Pebruari 2023
Komentar
Posting Komentar