Teror Kobra Di Banten Adalah Serangan Terhadap Demokrasi
Oleh : Asyari Usman (Wartawan Senior)
Tradisi berdemokrasi di Indonesia ternyata
masih jauh dari elegan. Ini terlihat ketika terjadi teror ular kobra yang
terjadi di rumah mantan gubernur Banten, Wahidin Halim, beberapa hari lalu.
Pelemparan sekarung ular kobran ke halaman
belakang rumah Wahidin berlalu begitu saja tanpa respon dari para tokoh
politik. Seharusnya, kalau Indonesia sudah paham berdemokrasi, semua pihak di
dunia politik akan mengutuk keras tindakan orang yang tak dikenal itu.
Mengapa
perlu dikutuk? Karena pelemparan 20 ekor ular kobra itu terkait langsung dengan
figur politik yang menjadi bakal calon presiden, Anies Baswedan. Bagaimanapun
juga, Anies adalah seorang tokoh politik yang berpotensi menjadi pemimpin
bangsa. Apalagi dia sudah resmi sebagai calon presiden dari Partai Nasdem yang
merupakan salah satu parpol di dalam kontestasi demokrasi Indonesia.
Dari
mana pun Anda melihat kejadian yang sangat tercela itu, tidak mungkin tidak
terkait dengan proses demokrasi. Fakta-fakta yang ada mendukung keterkaitan
itu. Anies sedang memulai safari politik ke Provinsi Banten. Secara terbuka,
ada pihak-pihak yang menentang kedatangan mantan gubernur Jakarta itu ke
Banten.
Anies
terjadwal mampir ke rumah Wahidin pada 25 Januari, persis pada hari teror ular
kobra itu. Dia juga akan mengunjungi sejumlah ulama dan pesantren.
Jelas
sekali bahwa Anies sedang melaksanakan agenda demokrasi. Bukan safari biasa.
Artinya, ketika ada perbuatan teror yang melanggar prinsip hukum dan demokrasi,
seharusnyalah tokoh-tokoh politik lain, baik yang sedang berkuasa maupun yang
beroposisi, melihat teror ular kobran itu adalah serangan terhadap demokrasi
secara keseluruhan. Bukan hanya serangan kepada Anies.
Kenyataannya,
para tokoh politik diam seribu bahasa. Bahwa kasus ini kemudian ditangani di
jalur pidana, tentu saja langkah penegak hukum melakukan pengusutan pidana
memang sesuatu yang normatif. Namun, yang jauh lebih penting adalah respon
solid dari semua tokoh politik untuk mengutuk perbuatan keji dan pengecut itu.
Pernyataan
mengutuk dari para pimpinan politik dan pemerintahan diperlukan agar
pihak-pihak yang melakukan teror ini tahu bahwa tindakan tercela itu tidak
mendapat tempat di dalam demokrasi Indonesia. Sayang sekali ini tidak terjadi.
Mengapa
respon yang menunjukkan “united front” (satu front) itu penting? Tidak lain
agar para pelaku teror tidak merasa punya tempat berlindung. Dan agar para
pelaku atau calon pelaku teror mendapat pesan tegas bahwa cara-cara yang mereka
lakukan tidak dapat diterima oleh siapa pun.
Dari
serangan teror ular kobra terhadap safari politik Anies di Banten itu, kita
semua tahu bahwa slogan “beda pilihan politik itu biasa” hanyalah basa-basi
belaka. Yang terjadi adalah perbedaan pilihan silakan saja asalkan pilihan yang
berbeda itu bukan kepada Anies Baswedan.
Inilah
makna teror kobra di rumah Wahidin Halim. Anies tidak boleh memperkenalkan diri
dan menjalin silaturahmi dengan rakyat Banten. Anies tidak boleh memperkuat
basis elektoralnya. Anies tidak boleh menjadi pilihan rakyat. Anies tidak boleh
menjadi presiden.
Jadi,
tidak mengherankan kalau para elit politik dari partai lain dan juga para
pejabat tinggi, terutama Presiden Jokowi, tidak berkomentar dan tidak mengutuk
teror ular kobra Banten.
Tidak
mengherankan pula kalau publik berpendapat teror itu kemungkinan besar pesanan
orang-orang yang terus mencoba untuk menghadang gerak maju Anies di Pilpres
2024.[]
27 Januari 2023
Komentar
Posting Komentar