Etnis Cina di Negeri Pancasila, Berkah atau Bencana?
Disampaikan Oleh : Yusuf Blegur (Ketua Umum BroNies)
Keharmonisan
dan keselarasan hidup berbangsa dan bernegara etnis Cina di Indonesia kian
terusik dan mulai digugat. Tak lagi sekedar individu sebagai warga negara,
peran dan pengaruh etnis Cina kini terus merambah merepresentasikan swasta,
BUMN dan negara leluhurnya. Lebih dari sekedar investasi dan utang, dominasi
dan hegemoni Cina mulai mengancam eksistensi dan kedaulatan NKRI. Terlebih
negeri yang berazas komunis itu, dengan kekuatan 9 Naga telah kokoh menancapkan
kukunya dan menguasai hajat hidup orang banyak di bumi Pancasila.
Ada
fakta yang tak terbantahkan tentang warga Cina yang hidup rukun dan sudah
kawin-mawin di Indonesia. Mereka yang hidup di pelosok kota dan desa sudah lama
membaur, akrab dan menyatu dengan pribumi. Warga Cina yang sudah menyatu dalam
tumbuh-kembangnya negara, berhasil membangun kohesi sosial dengan seluruh
rakyat Indonesia. Dalam pelbagai lapisan masyarakat, warga Cina terintegrasi
dengan penduduk pribumi tanpa tersekat
oleh status kaya-miskin, minoritas-mayoritas dan kalangan
istimewa-terpinggirkan. Tersebar dalam beragam profesi dan pelbagai
aktifitas. Sebagian besar tak lagi
terkendala oleh kesan warga keturunan, orang cina hidup bergaul bercampur gaya hidup, hobi dan
kebiasaan sehari-hari dengan warga asli Indonesia. Masyarakat Cina berhasil
menjadikan budaya Cina berdampingan dengan budaya nasional Indonesia tanpa menggerus eksistensi
suku, agama, ras dan antar golongan yang ada dan sudah menjadi tradisi. Mulai
dari Film, makanan, bahasa, seni bela diri dan Barongsai, dll., kerap dipakai
dan digemari tidak sedikit oleh bangsa Indonesia.
Rakyat
tak bisa melupakan prestasi Rudi Hartono, Liem Swie King, pasangan Kevin
sanjaya-Marcus Gideon dll., di dunia olah raga bulutangkis yang telah
mengharumkan nama negara bangsa Indonesia. Rakyat juga mengenal Soe Hok Gie
aktifis pergerakan di masa lalu dan sederet nama seperti Kwik Kian Gie, Jaya
Suprana, Anthoni Budiawan, Lius Sungkarisma, ustad Felix Siaw dlsb., yang kritis dan tetap menunjukkan
nasionalisme dan patriotismenya untuk negara Indonesia. Bangsa ini juga tak
bisa mengabaikan peran orang-orang seperti Harry Tanoesudibyo dan masih banyak
lagi yang berdedikasi tinggi ikut menopang dan menggerakan roda ekonomi demi
membantu pemerintah meluaskan lapangan pekerjaan dan mendorong pembangunan
nasional. Mereka semua etnis Cina yang semangat dan jiwanya telah melekat kuat,
menjadi bangga dan mencintai Indonesia.
Dalam
sejarah perjalanan politik pemerintahan
Indonesia, etnis Cina sering mengalami gelombang pasang surut. Sepanjang orde
lama dibawah pemerintahan Soekarno, warga Cina sangat dibatasi dalam pergaulan
politik, ekonomi dan hukum. Begitu diawasi dan dikontrol sangat ketat, presiden
Soekarno sampai mengeluarkan PP No.10 Tahun 1959 yang berisi melarang warga
Cina melakukan kegiatan ekonomi masuk di pedesaan. Begitupun eksistensi
keturunan Cina dalam politik dan pemerintahan, Soekarno tak memberi kesempatan
dan panggung untuk mereka. Soekarno dengan pilihan politik gerakan non blok,
yang tidak berafiliasi kepada blok barat dan blok timur memberi sinyal tidak
terlalu akomodatif terhadap etnis Cina
dalam pemerintahannya. Kebijakan Soekarno juga memarginalkan peran politik dan
ekonomi etnis Cina.
Warga
Cina cenderung semakin dikekang usai peristiwa G30 S/PKI 1965 dengan Inpres No.
14 Tahun1967 tentang larangan kegiatan keagamaan, kepercayaan dan adat
istiadat. Karena kebijakan orde baru, etnis Tionghoa ini juga dipaksa mengikuti
aturan dalam Surat Edaran No. 06/Preskab/6/67 yang mengharuskan nama Indonesia
bagi warga Cina. Bahkan pergerakan masyarakat Cina di Indonesia juga di kontrol
melalui Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC) oleh ode baru. Warga Cina atau
keturunan betapapun mendapat perlakuan diskriminasi dalam era orde baru, pada
orang per orang atau kelompok tertentu
juga sering mendapatkan previllage atau kemudahan dari pemerintahan
Soeharto. Terutama saat presiden Soeharto menjalankan kebijakan pembangunan
yang mengusung konsep "trickle dawn
effect". Presiden Soeharto mulai menghadirkan keleluasaan peran
pengusaha Cina dalam negara, melalui keberadaan konglomerasi dalam ekonomi
politik nasional. Penguasaan ekonomi dengan memberi peluang permodalan besar
dalam industri dan akses perbankan yang luas, kehadiran Taipan mulai terasa di
era Soeharto. Dibawah kekuasaan pemerintahan Soeharto, pesat lahir konglomerat
China yang kini dikenal sebagai oligarki korporasi.
Biar
bagaimanapun peran politik dan peran ekonomi etnis Cina dalam pemerintahan
Seokarno dan Seharto berbeda. Bisa dikatakan baik Soekarno dan Soeharto sama-sama masih membatasi warga Cina, baik
dalam soal keagamaan, kepercayaan dan adat istiadat. Begitupun dalam soal ekonomi dan politik, termasuk
membatasi etnis Cina dalam wilayah pemerintahan. Soekarno maupun Soeharto masih
menganggap, etnis Cina masih berorientasi pada negeri leluhurnya dan masih
sulit mengikuti proses asimiliasi dalam kehidupan rakyat, negara dan bangsa
Indonesia. Etnis Cina dianggap masih sangat eksklusif, primordial dan
sektarian. Selain itu baik orde baru maupun orde lama, menganggap etnis Cina merupakan masyarakat
yang memiliki kultur agresif dan ofensif secara ekonomi dan politik. Sehingga
itu menjadi kekhawatiran rezim pemerintahan keduanya yang ingin melakukan
proteksi masyarakat pribumi agar bisa
lebih mandiri, maju dan lebih sejahtera.
Etnis
Cina di Indonesia mulai bisa bernapas lega dan merasakan kebebasan
eksistensinya semenjak era kepemimpinan Abdurahman Wahid alias Gus Dur. Melalui
Keppres No. 6 Tahun 2000 yang diterbitkan pada 17 Januari 2000, kebijakan
Gusdur menghilangkan apa yang disebut sebagai diskriminasi terhadap etnis Cina.
Pelaksanaan keagamaan, kepercayaan dan adat istiadat bagi etnis Cina berlaku
lagi, mencabut Inpres No. 14 Tahun 1967. Gus Dur bahkan mengeluarkan peraturan
konghucu sebagai agama baru di Indonesia
selain penetapan perayaan hari imlek sebagai hari libur nasional dengan kemeriahan Barongsai. Etnis Cina mulai
merasakan zaman keemasannya, dalam sosial agama, sosial politik, sosial ekonomi
dan sosial hukum dalam era Gusdur yang justru menjadi awal era reformasi.
Sebuah transisi kekuasaan yang menjadi babak baru yang ingin mengembalikan
kedaulatan rakyat yang sesungguhnya berlandaskan Pancasila, UUD 1945 dan di
bawah naungan NKRI.
Wabah Cina di Negeri Pancasila
Benar
apa yang dikhawatirkan Soekarno dan Soeharto tentang pembatasan ruang gerak
etnis Cina di Indonesia. Tak cukup terkait betapa kuatnya kesetiaan pada negara
leluhurnya. Kehadiran etnis Cina di Indonesia mulai dari masa pergerakan
kemerdekaan, pergolakan dan situasi genting NKRI dalam orde lama dan orde baru
hingga 25 tahun era reformasi bergulir. Etnis Cina masih distigma sebagai
negara bangsa dengan kultur yang suka membuat adu-domba, khianat dan
menghalalkan segala cara. Koruptor, suap, judi, narkoba, traficking,
pengemplang pajak, plagiator ulung, pembunuhan dan pelbagai kejahatan
kemanusiaan lainnya. Semua catatan hitam yang historis dan empiris itu,
cenderung semakin lekat dengan identifikasi sebagian besar etnis Cina.
Pemimpin-pemimpin Indonesia terdahulu bangsa Indonesia masih menyimpan
kekhawatiran dan keraguan terhadap nasionalisme dan patriotisme sebagian
kebanyakan etnis Cina.
Bukan
sekedar karakter agresif dan ofensif dalam aspek ekonomi politik, kecenderungan
etnis Cina juga terlalu dominan dan hegemoni dalam banyak aspek kehidupan.
Terlebih superioritas etnis Cina terhadap rakyat pribumi Indonesia, berhasil
membonceng ideologi dan kepentingan
nasional bangsa Cina. Komunisme yang menjadi flatform negara Tirai Bambu itu,
kini bukan hanya mengancam Indonesia sebagai negara berdaulat. Lebih dari itu,
negara komunis Cina telah mewujud ancaman global. Keterpurukan kaum Muslim
Uighur, Tibet, Sri Lanka, Zimbabwe, Nigeria, Uganda dll., menjadi contoh betapa
berbahayanya monopoli, ekspansi dan tirani negara Cina baik secara ekonomi dan politik maupun ideologi dan agama. Cina dalam
pergaulan internasional telah menjadi imperium baru global.
Di
negeri Pancasila, etnis Cina yang minoritas berhasil menguasai rakyat
mayoritas. Pada masa orde lama dan orde baru, etnis Cina berupaya cukup keras
bergerilya dan berhasil menancapkan kukunya pada sektor ekonomi terutama pada
perdagangan dan perbankan. Kini etnis Cina mulai merangsek dan menguasai jalur
pemerintahan. Distribusi barang dan jasa, semakin diperkuat dengan intervensi
dan bahkan menjadi "inner circle" kekuasaan penyelenggaraan negara.
Etnis Cina, bahkan bisa mengendalikan pemerintah lewat individu maupun komunitas oligarki. Spirit orang dan bangsa
Cina yang menjadikan komunisme mengadopsi kapitalisme dalam percaturan global.
Membuat etnis Cina menguasai Indonesia dalam faktor teknis dan strategis
kepentingan publik di semua lini, dari sektor hulu hingga ke sektor hilir.
Segelintir
orang Cina pada era orde lama dan orde baru yang hanya fokus pada bidang
ekonomi yang terbatas dan elitis, kekinian mulai merambah ke semua sektor yang
menguasai hajat hidup rakyat Indonesia. Bisnisnya pun mulai mengamankan aparat
dan undang-undang untuk mengembangkan gurita bisnisnya. Kekuatan
kapitalistiknya mulai mengatur konstitusi dan demokrasi. Dunia usaha mewujud
oligarki, terus terstruktur, sistematik dan masif mengendalikan pemerintah dan
negara. Etnis Cina yang lebih senang disebut warga Tionghoa ini, semakin
digdaya secara kualitatif dan kuantitatif dalam penyelenggaraan negara. Sumber
daya manusia baik pejabat maupun rakyat serta sistem yang menghasilkan produk
politik dan hukum, sempurna di kuasai etnis Cina dalam tataran individu,
kelompok dan sebagai irisan serta
representasi negara yang menjadikan
komunis sebagai dasar, cara dan tujuan global. Menjadi negara komunis yang
kapitalis, melakukan kolonialisme dan imperialisme modern.
Tak
puas dengan menguasai sumber daya alam meliputi minyak, emas, batubara hingga
nikel. Etinis Cina juga merambah retail bisnis kecil seperti alfamart-indomart,
properti, hingga mal dan super blok. Bisnis yang sudah merambah industri
perkotaan sampai ke pelosok desa, laut
dan pegunungan tak lagi menyisakan
kekayaan bagi rakyat dan negara Indonesia. Hampir 80% lahan di Indonesia
dikuasai 1% dari seluruh rakyat Indonesia, tak lebih dari 25 orang pengusaha.
Hanya dalam 2 periode kepemimpinan rezim Jokowi, oligarki korporasi yang
dipimpin etnis Cina seperti 9 Naga telah sempurna menguasai hajat hidup orang
banyak. Ekonomi nasional terkapar, sementara institusi negara seperti partai
politik, DPR-MPR, MA, Kejakgung, MK, TNI-POLRI hingga KPU, tak lepas dari pengaruh
oligarki, pemilik modal besar yang sudah
terjun ke ranah politik. Bahkan pemilu dan pilpres 2024 sudah direkayasa
sedemikuan rupa hasilnya meski belum dilaksanakan. Sungguh Dahsyat dan
berbahayanya kekuatan oligarki yang ditopang segelintir etnis Cina. HIngga
terorganisir bisa menentukan siapa presiden dan pemerintahannya, yang bisa menjadi boneka dan ternak- ternak
oligarki.
Etnis
Cina yang diragukan kontribusinya dalam menyumbang kemerdekaan RI, telah
menjadi penguasa yang seolah-olah menjadi pemilik negeri ini. Konstitusi dan
demokrasi bisa dibeli, bahkan semua politisi, birokrat hingga presiden tak bisa
lepas dari keinginan etnis Cina yang bertransformasi sebagai mafia oligarki.
Pancasila,
UUD 1945 dan NKRI, kini di ujung tanduk dan terancam diakuisisi oleh Etnis Cina
yang sudah memobilisasi TKA. Tak sekedar modal besar dalam bentuk investasi
mega proyek, negara Cina juga sudah melakukan migrasi penduduknya yang
populasinya sudah mencapai miliaran. Kentara sekali berkedok investasi dan
utang, Cina dengan korporasi dan etnisnya yang minoritas, ingin meningkatkan
status mayoritasnya dan pada akhirnya melakukan kolonialisasi dan aneksasi
terhadap NKRI. Sebuah bahaya dan ancaman
serius dari kekuatan kapital yang komunis yang ingin menguasai bumi nusantara.
Serbuan TKA, jerat utang dan penguasaan ekonomi politik Cina, memberi tanda SOS
bagi keberadaan dan keberlangsungan NKRI. Tragedi
Morowali
utara menjadi indikator dari arogan,
rakus dan bengisnya rezim komunis Cina berkedok investasi dan utang. Banjir TKA
Cina yang tak berkuaitas tapi disambut karpet merah, perilaku etnis Cina yang mulai sok kuasa dan berani
berbuat aniaya terhadap rakyat pribumi bahkan kepada aparat, menjadi
tanda-tanda ada upaya menjadikan Indonesia sebagai negeri jajahan Cina.
Begitu
kuat pengaruh dan peran etnis Cina di Indonesia, menjadi paralel dengan
rendahnya integritas aparat birokrasi dan politisi di Indonesia. Dominasi dan
hegemoni etnis Cina dalam ekonomi politik nasional menjadi cermin dari
bobroknya mentalitas pemimpin dan pejabat di negeri ini. Perilaku menyimpang
berupa korupsi, tradisi suap, dan upaya menghalalkan segala cara demi memenuhi
ambisi dan tujuan meraih jabatan serta kekayaan telah menjadi konspirasi jahat
antara etnis Cina yang menjadi oligarki dengan birokrasi. Rakyat pribumi harus
terpinggirkan dalam selimut kemiskinan dan hidup menderita, sementara
segelintir orang dan kelompok berpesta pora menikmati kekayaan dan fasilitas
negara. Oligarki hitam yang eksploitatif
dimotori pelaku bisnis dari etnis Cina,
berselingkuh dengan para bejabat bermental bejad. Kekuasaan para pelacur dan
penghianat-penghianat bangsa Indonesia ini, perlahan tapi pasti mengancam
eksistensi Pancasila, UUD 1945 dan kedaulatan NKRI. UU Cipta Kerja, UU KUHP
dll, menjadi bukti tak terbantahkan bahwa pemerintah dibawah kendali oligarki
sebagai siasat mengebiri konstitusi, membungkam demokrasi dan membawa Indonesia
ke dalam jurang kehancuran,
Sepatutnya
bangsa Indonesia sadar bahwa negerinya diambang kehancuran dalam genggaman
negeri tirani Cina Komunis. Rakyat harus berani dan bangkit melakukan
langkah-langkah dan tindakan revolusioner untuk menyelamatkan Pancasila, UUD
1945 dan NKRI. Seluruh rakyat dan pemimpin-pemimpin agama dan politik harus
bersatu membangun kekuatan perubahan. Seperti kata Bung Karno, rakyat harus
berani menjebol dan membangun, melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi dari
tatanan sistem yang sudah rusak yang
disebabkan oleh anasir kapitalisme dan komunisme global, termasuk geliat predator Cina. Akankah rakyat Indonesia,
memahami dan menyadari substansi realitas ekonomi politik saat ini?. Terlebih, khususnya
perspektif peran dan pengaruh etnis Cina di Indonesia, berkah atau bencana?.
Mampukah rakyat Indonesia, setelah dihantam pandemi Covid-19 yang bersumber
dari kota Wuhan, dengan cerdas dan tangkas dapat melakukan refleksi dan
evaluasi?. Bahwa sejatinya begitu kuat wabah Cina di negeri Pancasila.
Dari
pinggiran catatan labirin kritis dan relung kesadaran perlawanan.
Bekasi
Kota Patriot.
23
Januari 2023/2 Rajab 1444 H.
Komentar
Posting Komentar