Tujuh Tantangan Terbesar Indonesia 2023: Pemberantasan Korupsi
Catatan Akhir Tahun Dr Syahganda
Nainggolan (Sabang Merauke Circle).
Seri ke-4
Tujuh Tantangan Terbesar Indonesia
2023: Pemberantasan Korupsi
Hari
ini saya membahas tantangan ke empat Indonesia tahun depan, yakni pemberantasan korupsi. Pembahasan ini
menyangkut aspek struktural maupun kultural. Struktural berhubungan dengan
kekuasaan, sistem legal dan "power relation". Sedangkan kultural
berhubungan dengan moralitas, norma dan gerakan serta dinamika sosial dalam
masyarakat.
Negara-negara
besar selalu berhasil memperlihatkan indeks persepsi korupsi yang tinggi, pada
indeks versi "Transparancy International" artinya penanganan korupsi
sangat baik. Indonesia selalu berada pada indeks yang rendah, di bawah rerata
dunia (44). Tahun lalu indeks Indonesia
mencapai 38, jauh di bawah Singapura dan Malaysia.
Transparansy
Internasional mengaitkan tingginya korupsi dengan rusaknya kebebasan sipil dan
banyaknya pelanggaran hak-hak asasi manusia di suatu negara (lihat:
ti.or.id/indeks-persepsi-korupsi-2021-korupsi-hak-asasi-manusia-dan-demokrasi/).
Musuh koruptor adalah control sosial. Tapi sebenarnya ini juga berkaitan dengan
ideologi. Ketika saya menulis ”Matinya Reformasi, Budaya Korupsi dan Tamatnya
Nasib KPK”, 2019, disitu diperlihatkan cerita Jung Chang, seorang novelis asal
China, dalam novelnya yang sangat terkenal, “Wild Swans: Three Daugters of
China”, terjadi perubahan kultur pada ayahnya yang menjadi pimpinan Komunis
sebuah kota di era Mao Ze Dong. Ideologi itu mengantarkan budaya baru pada
ayahnya untuk masuk pada “rule of thumb” promosi karir orang bukan berdasarkan
hubungan keluarga (anak, istri, ponakan, dll), melainkan berdasarkan pemahaman
nilai-nilai komunis.
Di
China, keberhasilan menolong keluarga, apalagi mendorong anak dan keponakan
menjadi pejabat negara, menjadi kebanggaan. Budaya kita juga begitu, masih.
Jung Chang menceritakan tindakan ayahnya itu, tidak menolong keluarga, membuat mereka
dikucilkan keluarga.
Sisi
kultural ini adalah sisi yang menyangkut nilai yang dianut oleh masyarakat.
Indonesia, sebagai masyarakat mayoritas muslim, seharusnya terikat dengan
nilai-nilai anti korupsi, kolusi serta nepotisme. Sebuah ilustrasi ajaran Islam
misalnya diuraikan sebagai berikut:
Ibnu
Zanjuwaih (wafat 247 Hijriyah) meriwayatkan dalam bukunya Al-Amwal, ia berkata,
"Umar Bin Khattab memiliki seekor unta. Budaknya memerah susu unta setiap
hari untuknya. Suatu ketika, budak membawa susu unta ke hadapan Umar. Umar
berfirasat lain dan dia bertanya kepada budaknya, "Susu unta dari mana
ini?" Budaknya menjawab, "Seekor unta miIik negara (Baitul Maal) yang
telah kehilangan anaknya, maka saya perah susunya agar tidak kering, dan ini harta
Allah". Umar berkata, "Celakalah engkau! Engkau beri aku minuman dari
neraka!". (Sumber: Republika, 14/12/20, “Teladan2 Umar yang tak Aji
Mumpung Gunakan Fasilitas Negara”).
Nilai
yang diajarkan pada peristiwa itu adalah tidak mencampur-adukkan barang publik
dengan barang pribadi. Selain itu, sebagai penguasa utama, Umar Bin Khattab,
memberikan teladan bahwa membersihkan diri dari harta haram harus dimulai dari
khalifah (presiden atau raja). Rasa malu atas prilaku korupsi dalam budaya,
juga seharusnya dicontohkan oleh masyarakatnya. Masyarakat yang sadar selalu
menolak mengambil hak orang lain. Hal ini terlihat pada masyarakat yang tertib
dalam antrian, misalnya bertransportasi atau di pusat pelayanan lainnya. Masuk
perguruan tinggi negeri, melalui titipan dan sogokan, seperti yang terjadi di
Unila baru-baru ini, menunjukkan kerusakan struktural dan kultural sekaligus,
karena melibatkan katabelece orang yang berkuasa, dan menunjukkan calon
mahasiswa yang tidak menghargai hak-hak orang lain.
Berbeda
dengan masyarakat biasa, bagi seorang pemimpin, rasa malu harusnya ditebus
dengan cara-cara yang luar biasa, misalnya bunuh diri, seperti yang dilakukan
Roh Meehyong, eks presiden Korea Selatan, atau mengundurkan diri dari jabatan,
seperti yang sering dilakukan pejabat di negara beradab.
Korupsi
merupakan cerita lama. Lalu dari mana kita memulai telaahan? Kita harus fokus
pada korupsi yang menyangkut kekuasaan. Sebab, kekuasaan yang dibangun oleh
sistem dan orang-orang yang korup akan memastikan negara itu menjadi negara gagal
(failed state). Marilah kita lihat yang terbaru dari kekuasaan rezim Jokowi.
Kita dikejutkan oleh Luhut Binsar Panjaitan (LBP), Menko Maritim dan Investasi,
beberapa hari lalu dalam sebuah pidatonya yang menyebar luas, bahwa KPK (Komisi
Pemberantasan Korupsi) seharusnya tidak terus-menerus melakukan OTT (Operasi
Tangkap Tangan). Alasannya, kita hidup di dunia, bukan di surga. Menurutnya,
OTT memalukan Indonesia di dunia internasional. Operasi KPK ini padahal sejak
awalnya merupakan andalan KPK untuk membongkar korupsi, karena KPK sebagai
institusi memang didesain untuk bekerja “extra ordinary”. Melakukan penyadapan
dan tangkap tangan adalah kekuatan KPK dibanding institusi Kejasaan Agung. Kita
harus mengecam pernyataan LBP ini sebagai pelemahan pemberantasan korupsi saat
ini. Pemberantasan korupsi memang harus dilakukan di dunia, bukan di surga.
Pernyataan LBP yang didukung oleh Mahfud MD soal KPK terbaru ini juga adalah tanda-tanda terbukanya sikap rezim Jokowi yang tidak mendukung lagi upaya pemberantasan korupsi. Dulu, Jokowi, ketika pertama kali menyusun kabinetnya, menyingkirkan Budi Gunawan (BG) dari calon Kepala Kepolisian Republik Indonesia, karena alasannya KPK memberikan rapor merah (tidak bebas korupsi) pada BG. Saat itu Jokowi memberi pesan kepada rakyat Indonesia bahwa dia akan memulai sebuah pemerintahan yang bersih, anti korupsi. KPK sebagai institusi yang kala itu sangat dipercaya publik sebagai penyaring calon-calon pejabat negara, yang terkait bebas korupsi, menjadi partner Jokowi dalam menseleksi semua calon kabinetnya. Menyingkirkan BG kala itu tentu saja menjadi spektakuler karena BG merupakan inti dari partai pendukung utama Jokowi, yakni PDIP. Namun, kemesraan dengan KPK berangsur sirna, bersamaan dengan hilangnya tema-tema anti korupsi. Pada tahun 2019 KPK dilemahkan dengan revisi UU KPK, yang menempatkan KPK dalam kontrol pemerintah via Dewan Pengawas. KPK tidak dilibatkan lagi dalam seleksi pejabat yang bersih, bahkan KPK disterilisasi dengan isu Taliban pada tahun 2021, dan terakhir KPK terkesan diintimidasi oleh LBP.
Pada
era Jokowi jilid satu, berbagai persoalan korupsi muncul, baik dalam skala
besar maupun menengah. Skala besar terkait isu “Papa Minta Saham”, dan
penangkapan dua menteri Jokowi, Imam Nahrawi dan Idrus Marham. Dalam catatan
Kompas 2019, malah ada lebih banyak lagi menteri/mantan menteri Jokowi yang
terkait dengan masalah korupsi
(nasional.kompas.com/read/2019/12/19/10474081/kaleidoskop-2019-menteri-era-jokowi-yang-berurusan-kasus-korupsi).
Sedangkan skala menengah adalah penangkapan kepala-kepala daerah yang jumlahnya
tetap besar.
Pada
era Jokowi jilid dua, korupsi sepertinya mulai subur seperti di era orde baru.
CNBC melukiskan bawa hanya di era Jokowi ini jumlah uang dikorupsi hampir sama
dengan kasus BLBI Orde Baru, yakni kasus Apeng, korupsi Jiwasraya, dan Asabri.
(sumber: www.cnbcindonesia.com/market/20220817183001-17-364517
ini-daftar-3-kasus-korupsi-terbesar-ri-nyaris-samai-blbi/2). Di era Jokowi ini
juga kejahatan terhadap orang miskin dilakukan, ketika bencana kematian datang,
yakni dengan korupsi dana Bantuan Sosial
Covid-19. Selain korupsi oleh Menteri Sosial, Menteri Jokowi lainnya juga
melakukan korupsi, yakni Edhy Prabowo, Menteri KKP.
Terakhir,
yang menggemparkan pada tahun 2022 ini adalah PPATK temukan transaksi keuangan
misterius sebanyak Rp. 183,8 T, korupsi dalam skandal ijin ekspor minyak
goreng, serta skandal korupsi dan mafia kasus dua Hakim Agung (Sudrajat Dimyati
dan Gazalba Saleh). Hakim Agung sebagai simbol “malaikat” atau perwakilan Tuhan
Y.M.E di muka bumi ternyata sudah bobrok
juga. Tak kalah penting juga, jumlah harta anak-anak Jokowi, yang begitu besar
menimbulkan pertanyaan, seperti yang dilaporkan Ubaidillah Badrun ke KPK,
terkait dengan perolehan dana untuk pembelian saham senilai Rp. 92 Milyar
(www.tribunnews.com/bisnis/2022/01/14/perihal-pembelian-saham-rp-92-miliar-yang-bikin-putra-presiden-jokowi-kaesang-dilaporkan-ke-kpk). Akhirnya, kini kita menyadari bahwa era
Jokowi saat ini sebanding atau bahkan lebih buruk dari era Orde Baru dalam lilitan
dan pusaran kasus korupsi.
Sebagian
besar pendukung Jokowi melihat peristiwa yang ada dari kacamata sebaliknya dan
sebagian lagi melihat dengan “kacamata kuda”. Kelompok pertama berargumentasi
bahwa justru di era Jokowi inilah kasus korupsi besar terungkap dan ditangani.
Ini adalah prestasi Jokowi, menurutnya. Argumentasi ini sangat lemah tentunya.
Sebab, dalam teori kepemimpinan, jika menteri-menteri Jokowi dan mitranya,
seperti petinggi parpol melakukan korupsi, maka dipastikan ada “share
responsibility” yang harus ditanggung oleh Jokowi sebagai presiden. Kelompok
kedua, yang melihat dengan “kacamata kuda”, melihat bahwa yang salah pasti
bukan pemerintah, melainkan keadaan. Istilah kita hidup bukan di surga, seperti
yang diargumentasikan LBP, menunjukkan kondisilah yang salah. Argumen ini tentu
sangat konyol. Pemerintahan SBY telah menaikkan 14 poin, dari 20 ke 34, selama
10 tahun berkuasa, index persepsi korupsi Indonesia versi Transparancy
International. Sedangkan rezim Jokowi hanya menaikkan 4 poin, dari 34 ke 38,
index yang sama, selama 8 tahun berkuasa.
Seandainya prestasi Jokowi bisa sama dengan
SBY, atau rata-rata peningkatan 1,4 poin pertahun, maka seharusnya Indonesia
akan mempunyai Indeks di atas rata-rata dunia, yakni 45,2, pada tahun lalu.
Sayangnya, persoalan korupsi semakin merajalela.
Sebab
utama yang bersifat struktural atas merajalelanya korupsi adalah pengebirian
KPK. KPK meskipun saat ini tetap diapresiasi, namun dianggap tidak lagi
mempunyai tingkat “kesucian” dan sakral yang sama seperti awalnya dulu. KPK
yang semula dibentuk sebagai lembaga “extra ordinary”, yang sejajar dengan
pemerintah, akhirnya dikontrol oleh pemerintah melalui revisi UU KPK 2019.
Misalnya, dalam kasus laporan Ubeidillah Badrun pada kasus anak Jokowi yang di
drop KPK dari kasus yang layak ditindak lanjuti, serta, kasus Formula-E yang
dianggap akan mentersangkakan Anies Baswedan, terjadi kecurigaan bahwa KPK
mengalami intervensi dari kekuasaan. Selanjutnya, KPK juga tidak lagi menjadi
lembaga yang mengkordinasikan Kejaksaan Agung dan Kepolisian dalam penanganan
kasus korupsi. Dalam skandal minyak goreng, yang melibatkan pejabat negara dan
kerugian (penderitaan) rakyat yang begitu besar, tahun ini, kepolisian dan
kejaksaan agung malah terkesan “adu cepat” merespon kasus ini. Sedangkan KPK
tidak terlibat didalamnya.
Sebab
kedua adalah hilangnya keteladanan pemimpin. Langkah berani Jokowi
menyingkirkan Budi Gunawan (BG) di awal berkuasa, memperlihatkan kesan spirit
anti korupsi yang tinggi. Tapi langkah ini menjadi diragukan karena tujuan
menyingkirkan BG bisa jadi bukan utamanya untuk pemerintahan bersih, karena
tuduhannya BG terlibat korupsi (rekening gendut), melainkan Jokowi mungkin
sekedar memperalat KPK untuk kepentingannya sendiri. Sebab, BG kemudian menang
di pengadilan dalam membersihkan nama baiknya dan Jokowi kemudian memberikan
jabatan kepala BIN kepada BG. Semakin
lama Jokowi berkuasa, memasuki tahun ke -9 sebentar lagi, keteladanan Jokowi
semakin dipertanyakan. Jokowi terlihat membangun dinasti dan kongsi politik
yang sarat dengan KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme). Misalnya, selain
perkawinan anak Jokowi baru-baru ini yang terkesan super mewah, ketika rakyat
kesulitan makan. Kemudian anak Jokowi lainnya, Walikota Solo, mendapat
previlage berhubungan langsung dengan Raja negara berdaulat Uni Emirat Arab,
Mohammad Bin Zayed, untuk urusan uang ratusan milyar rupiah, yang banyak
diberitakan saat ini (lihat:
regional.kompas.com/read/2022/12/23/110218178/dapat-izin-dari-kemendagri-gibran-berangkat-ke-uea-tanggal-25-desember-2022?page=2).
Bukankah itu seharusnya dilakukan dalam hubungan bilateral kedua negara?
Sebab
ketiga adalah hilangnya ideologi. Selama pemerintahan SBY, yang mampu
meningkatkan indeks persepsi korupsi begitu besar, SBY mengadopsi demokrasi ala
barat di Indonesia, secara konsisten. Dia mengadopsi ideologi liberal. SBY
memperkuat kontrol sosial untuk mengawasi pemerintah. Di era Jokowi,
pembungkaman atas kontrol sosial dilakukan dengan masif, termasuk pemenjaraan
aktifis pro demokrasi dan ulama. Namun, berbeda dengan di China era Mao Ze
Dong, maupun kisah Umar Bin Khattab, yang saya singgung di awal, rezim Jokowi
berjalan tanpa ideologi. Selain itu, bahkan kebanyakan lingkungan penguasa
disekitar Jokowi adalah pebisnis. Cara pandang pebisnis terhadap negara sangat
berbeda dengan politisi yang tumbuh sebagai kader-kader ideologi. Rizal Ramli,
yang mempopulerkan istilah Peng-Peng (Penguasa-Pengusaha), menunjukkan bahwa
penguasa dan sekaligus pengusaha membuat negara tersandera pada kepentingan
keuntungan pengusaha itu, bukan untuk rakyat.
Lalu
apa yang menjadi kekhususan pembicaraan kita untuk tahun depan? Tahun depan
adalah tahun politik. Kekuasaan dan segala sumberdaya berpotensi dibelokkan
untuk kepentingan yang berkuasa. Apalagi kita sudah bahas situasi saat ini yang
tanpa kontrol sosial. Kita harus bekerja keras untuk pemberantasan korupsi.
Pertama, kita harus mempropagandakan dibubarkannya "Peng-Peng",
pengusaha yang sekaligus menjadi penguasa. Orang-orang bisnis harus
meninggalkan bisnisnya secara total jika terjun ke politik. Begitu juga keluarga
inti harus bebas dari bisnis. Tidak ada lagi penguasa yang pengusaha sekaligus.
Kedua, kita harus mendorong ideologi politik
ke depan yang berbasis nilai nilai sakral. Ideologi itu akan mengontrol
pemerintahan agar berbasis nilai-nilai, di mana keberhasilan seorang ditentukan
oleh kontribusinya pada "public goods" dan kehidupan sosial. Negara
harus berfungsi sosial dan untuk kebaikan. Olehkarena itu, eksistensi pemerintahan
bersih menjadi mutlak.
Ketiga,
mengembalikan KPK pada fungsi awalnya. Yakni sebagai institusi "extra
ordinary" dalam pemberantasan korupsi dan independen.
Keempat,
keteladanan pemimpin harus terjadi. Pemimpin yang bersih harus diperjuangkan.
Budaya anti korupsi hanya bisa dimulai jika pemimpinnya anti korupsi. Presiden
harus bebas korupsi dan kabinet harus bebas korupsi, itu cita-cita kita tahun
2024. Tahun 2023 adalah tahun penentuan
nasib bangsa. Bangkit atau punah.
Komentar
Posting Komentar