Kebangkitan Kembali PKI
Oleh: Yusuf Blegur (Ketua Umum BroNies)
Krisis multidimensi
menyelimuti NKRI. Kejahatan kemanusiaan dan kemiskinan terus menggumuli rakyat.
Seakan menjadi lahan subur bagi tumbuhnya PKI, kehidupan sepi dari agama dan
terdengar hanya sayup-sayup konstitusi ditengah negeri yang dilumuri kebejatan moral para pemimpin.
Korupsi, pajak setinggi langit,
kesulitan masyarakat memenuhi kebutuhan pokok dan utang negara yang
meroket karena para pemangku kepentingan publik yang tak bertuhan dan sering
merampok uang rakyat. Pancasila, UUD 1945 dan NKRI terancam mengalami suksesi
oleh anasir komunis.
Berbanding terbalik
dengan Pancasila dan UUD 1945 yang ada tapi tak terasa. PKI yang telah menjadi
bahaya laten, tak terlihat memerintah namun berkuasa. PKI tidak muncul sebagai
organisasi atau kekuatan yang formal, namun merambah dalam setiap institusi negara.
Meski tidak memenuhi jabatan konstitusional, secara personal irisan PKI secara
nyata eksis dan ikut menentukan kebijakan pemerintah. Birokrasi dalam rezim 2
periode ini mulai dipengaruhi anasir kekuatan komunis yang beberapa kali
terbukti melakukan pemberontakan terhadap NKRI dan penghianatan pada Pancasila.
Poros pemerintahan yang
cenderung berkiblat ke negara komunis China. Membuat Indonesia terus terjebak
pada pusaran politik dan ekonomi yang dikuasai orang-orang China baik secara
individual, komunal, korporasi swasta, BUMN maupun institusional negara tirai
bambu itu. Pranata sosial dalam kultur penguasaan ekonomi yang sudah
berlangsung lama, ditambah ekspansi politik yang mulai merambah dan mulai mengatur
konstitusi maupun ikut menentukan kebijakan negara. Membuat orang
ataupun sistem yang bermetamorfosis
dalam oligarki, terus membuat kekacauan dan kehancuran Indonesia.
Terutama dalam persfektif sebagai sebuah bangsa yang terbingkai dalam balutan
Pancasila, UUD 1945 dan NKRI serta sebagai sebuah konsensus nasional yang
bertujuan mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Kini semua cita-cita
proklamasi kemerdekaan Indonesia itu semakin
senyap dan perlahan telah lenyap.
Pengaruh Cina terhadap
Indonesia dalam hubungan bilateral dan regional, tak dapat menciptakan hubungan
kesetaraan dan saling menguntungkan. Sebagai negara blok timur dengan dasar
komunisme, China yang menjadi salah satu kekuatan ekonomi dan politik dunia.
Terlalu leluasa untuk melakukan intervensi, hegemoni dan dominasi kepada Indonesia.
Bukan hanya pada sektor hulu, dalam sektor hilir kekuatan ekonomi politik China
begitu kokoh dan kuat merambah. Bukan hsnya pada sektir industri dan
perdagangan, hukum, demokratisasi semu
pada pileg dan pilpres, menguasai partai politik hingga menyusupi TNI dan Polri begitu terstruktur, sistematik
dan masif dilakukan populasi etnis China. Kekuatan adidaya China dalam
kepemilikan modal dan aset yang mengadopsi sistem kapitalisme, telah
melumpuhkan Indonesia sebagai sebuah negara yang merdeka dan berdaulat.
Melalui Keppres No.17
Tahun 2022 yang substansinya menghidupkan kembali status politik, hukum
dan ideologi yang laten berkedok dan
atas nama HAM. Rezim seakan telah terkooptasi dan telah menjadi perpanjangan
tangan ideologi komunis yang berasal dari pemerintahan China. Oligarki korporasi dan partai politik di
Indonesia telah menjadi agen sekaligus operator dari kebangkitan kembali PKI
jika tidak bisa disebut komunisme global. Maraknya kejahatan yang diiringi
pesatnya kemiskinan akibat melemahnya peran negara dan begitu mudahnya pemimpin dibeli. Membuat
distorsi penyekenggaraan pemerintahan yang amburadul menjadi indikator dari
geliat dan dinamika PKI. Kerusakan dan kehancuran tatanan kehidupan negara yang
struktural dan sistemik, seakan memberi sinyal
bahaya yang laten itu kini mulai transparan dan nyata adanya. Aparat negara
represif dan cenderung menjadi penjahat,
demokrasi mati dan rakyat semakin melarat. Ya, semua itu bukan sekedar
deasa-desus atau rumor belaka,
karena telah terasa kebangkitan kembali
PKI.
Catatan
dari pinggiran labirin kritis dan relung kesadaran perlawanan.
Bekasi
Kota Patriot.
30
September 2022/4 Rabi'ul Awal 1444 H.
Komentar
Posting Komentar