Strategi Mewaspadai Dalang Gerakan Islamophobia di Indonesia
Oleh : Syahganda Nainggolan, (Sabang Merauke Circle)
Membahas dalang Islamophobia, sebagaimana diminta panitia dalam judul yang diberikan kepada saya cukuplah rumit. Sebab, hal itu dapat bergeser menjadi kajian politik konspirasi, di mana objektivitas mengalami degradasi. Saya ingin membahas dalang ini dalam konsep yang utuh, mempunyai basis teori yang jelas. Pertama, Islamophobia harus didekati dengan perang peradaban yang lama antara Islam dan barat, sepanjang 250 tahun Kapitalisme eksis. Kedua, Islamophobia harus dikaitkan dengan kepentingan China di Indonesia dalam bagian startegi Belt and Road Initiative, sebuah langkah China untuk menjadi superpower baru di dunia. Ketiga kita akan melihat bagaimana situasi sosiologis bangsa kita sendiri, untuk melihat kemungkinan munculnya Islamophobia itu dari dalam tubuh bangsa itu sendiri.
Anti Islamophobia, sebuah
dekonstruksi
Islamophobia
merupakan penamaan atas berbagai upaya, baik pikiran, maupun tindakan yang
dilakukan perorangan maupun sekelompok masyarakat, bahkan sebuah negara, yang
berusaha memojokkkan Islam sebagai sebuah ajaran, dan pengikutnya, sebagai
kekuatan jahat yang dapat merusak norma sosial, maupun kekerasan sosia di
masyarakat. Pendifinisian ini mengalami kesulitan pengertian akibat spektrum
yang dicakup dalam persoalan yang dibahas. Ilhan Omar, anggota DPR AS, ketika
mencoba membuat draft UU Anti Islamophobia membuat cakupan sebagai berikut:
(A)acts
of physical violence against, or harassment of, Muslim people, and acts
of violence against, or vandalism of, Muslim community institutions, including
schools, mosques, and cemeteries; (B) instances of propaganda in
government and nongovernment media that attempt to justify or promote racial
hatred or incite acts of violence against Muslim people; (C) the actions,
if any, taken by the government of the country to respond to such violence and
attacks or to eliminate such propaganda or incitement; (D) the actions
taken by such government to enact and enforce laws relating to the protection
of the right to religious freedom of Muslim people; (E) the efforts of
such government to promote anti-bias and tolerance education
Secara
global, Ilhan Omar menjadi pembicaraan penting terkait Islamophobia ini, karena
dia menginisiasi pertarungan anti-Islamophobia di Amerika dengan spektrum
global. Spektrum global maksudnya, arah Gerakan anti-Islamophobi yang dia
lakukan berkeinginan mencakup seluruh dunia, melalui tangan Amerika. Hal ini
penting diberi catatan karena selama ini, justru Amerika, merupakan simbol
barat dalam melakukan propaganda anti Islam di seluruh dunia. Pada saat Ilhan
memulai debut pertarungan terkait isu ini, Ilhan memantik beberapa dekonstruksi
isu penting, 1. definisi teroris, 2. Mensetarakan Israel, Taliban dan Hamas dan 3. Sifat Islamophobi yang global.
Pada definsi teroris, Ilhan membangun wacana baru tentang pemboman twin tower
WTC NewYork, 9/11/2021. Amerika, Israel dan Barat selama ini membuat “landmark”
puncak terorisme dunia dengan serangan 9/11 tersebut, karena simbolis
serangannya pada pusat Kapitalisme dunia, dan memakan korban jiwa yang sangat
besar Namun, Ilhan mengatakan bahwa serangan itu adalah “some people dis
something”. Lengkapnya dia mem post dalam Tweeter nya "CAIR was founded
after 9/11 because they recognized that some people did something and that all
of us were starting to lose access to our civil liberties".
Definisi
terorisme dan ekstrimisme di seluruh dunia, kecuali di China, umumnya
mengatakan bahwa terorisme dan ekstrimisme itu adalah bentuk kebiadaban Islam
dalam mengadapi barat, baik negara maupun masyarakat. Kelompok-kelompok Islam
ekstrem mengorganisasikan diri secara global untuk menghancurkan asset-asset
vital negara barat dan bahkan menyerang manusianya. Sejak paska 9/11, Amerika
membangun “Global War on Terroris”, termasuk operasi mereka di Indonesia, yang “dititipkan”
pada Densus 88 Polisi (sebelum 9/11 pernaha pada Densus 81 Kopassus). Dengan
tema baru Anti Islamophobia, tema “War on Terror” pimpinan Amerika yang berusia
20 tahun lamanya, mulai meredup.
Pada
isu kedua, Ilhan meminta agar akuntabilitas dalam penindasan terhadap
masyarakat, yang dilakukan rezim yang otoriter, harus dilakukan sama terhadap
Taliban, Hamas, Israel dan Ameika Ilhan mem posting hal ini, ditautkan kepada
mitra kerjanya, Blinken, Menteri Luar Negeri Amerika. Terjadi dekonstruksi pada
statement ini, karena selama ini Amerika dan Israel melihat Hamas dan Taliban
adalah teroris, sedangkan Ilhan melihatnya sama saja. Dan ketiga, Ilhan
menyoroti semua penindasan dan kebencian teradap Islam, baik yang dilakukan
negara,
![]() |
Islamophobia di India |
seperti India, China, Myanmar, dlsb., kepada minorotas muslim di sana, maupun non negara, seperti kebencian kulit putih di beberapa negara barat terhadap orang muslim.
Kemampuan
Ilhan melakukan dekonstruksi dan pemilihan diksi maupun definisi, dan tentu
saja keberaniannya, telah membangun simpati yang terkonsolidasi. Ilhan berhasil
menggagas UU “Combating International Islamopobia” yang akhirnya disetujui DPR AS, pada 14/12/21
(saat ini menunggu persetujuan senat). Sebagai anggota DPR dari Partai
Demokrat, partai penguasa, kita bisa memaknai, bahwa pemerintah yang berkuasa
saat ini di Amerika mendukung sepenuhnya Gerakan anti-Islamophobia.
Penguasa
di Amerika, jika dikendalikan oleh Partai Demokrat, memang memandang “War on
Terror” versi Goerge Bush, paska 9/11, akan lebih hati-hati dan cenderung tidak
ingin menampilkan permusuhan pada Islam. Hal itu telah di mulai oleh
pemerintahan Obama, yang mengarahkan
perang pada terorisme, menyasar lebih kepada organisasi terror, bukan pada negara.
Misalnya, Obama membuat kebijakan penarikan pasukan Amerika dari berbagai
daerah pendudukan, seperti Irak dan Afganistan. Pada era pemerintahan Joe
Biden, saat ini, fokus Amerika tidak lagi pada dunia Islam, sebagai ancaman
strategisnya, melainkan kepada China dan Rusia. Dengan demikian, cepat atau
lambat, kekuatan operasi militer Amerika, dan aliansinya, kurang ditujukan pada
isu-isu ekstrimisme Islam dan terorisme. Jika pemerintahan Joe Biden bertahan
Panjang, maka justru sebaliknya operasi anti-Islamophobia dapat berkembang di
seluruh dunia, karena kemungkinan besar UU
Anti Islamophobia itu didukung atau diloloskan oleh senat. Jika itu
demikian adanya nantinya, maka UU itu mewajibkan Amerika membuat kontor
tambahan di semua kedutaannya di seluruh dunia untuk mengawasi dan melawan
Islamophobia.
Pembahasan
kita sejauh ini tentang Islamophobia dan Anti Islampobhia bersifat global.
Beberapa negara barat mengikuti langkah Amerika, beberapa lainnya, mengalami
kebuntuan karena besarnya isu migrasi, khususnya di eropa, akibat perang dan
berbagai kekerasan di jazirah Arab, Afrika dan terakhir di Ukraina. Orang-orang
migran terkini di eropa umumnya beragama Islam. Dalam situasi ekonomi yang
sulit, baik paska pandemic covid-19, maupun perang Ukraina-Rusia, kehadiran
mereka (imigran) dilihat lebih sebagai beban ekonomi dan sosial dari pada
tenaga kerja murah potensial. Untungnya, PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa) telah
mengeluarkan resolusi Anti Islamophobia yang dapat menjadi rujukan
negara-negara di dunia, untuk tidak memusuhi Islam.
![]() |
Islamophobia di Amerika |
Agenda Amerika dan barat saat ini lebih terfokus pada kompetisi dan perluasan pengaruh antara mereka dengan poros China-Rusia. Benturan peradaban yang diperkirakan Samuel Huntington awal 90 an, atau berakhirnya perang dingin (Cold War), akan terjadi antara barat dan Islam. Lebih tepatnya dikarenakan dominan kultur yang mampu mengimbangi barat adalah Islam, sebagai pembentuk identitas. Memang, sejak tahun 90-an, Amerika dan barat focus pada agenda identitas secara global, baik dalam isu demokrasi, hak-hak asasi manusia, dan berbagai kebebasan sipil lainnya, yang diekspor ke seluruh dunia, termasuk dunia Islam, maupun eropa timur serta eks-Soviet. Terjadi pergeseran yang semula kompetisi antara negara barat vs timur, menjadi kompetisi kultur dan identitas.
Namun,
situasi terkini, dunia memperlihatkan bahwa China dan Rusia, sebagai negara,
dan dalam genggaman pemimpin otoriter, bukan sebagai identitas dan kultur,
sebagaimana tesis Huntingtin tentang “Sinic identity”, muncul sebagai
competitor Amerika dalam dunia global. Sinic Identity, misalnya, Korea Selatan,
Vietnam maupun Singapura, ternyata bukan memihak China, yang diklaim Huntington
dalam kultur dan identitas yang sama, melainkan berpihak pada Amerika/Barat.
Kesadaran ini terlihat telah mengantarkan Amerika melakukan konsolidasi
kekuatannya bukan dalam agenda “clash of civilization”, melainkan pada
kepentingan mereka, khususnya dagang. Pernyataan Blinken, misalnya di UI, dalam
kunjungan ke Indonesia tahun lalu, mengatakan bahwa Indo-Pasifik adalah sebuah
wilayah dengan kekuatan pasar $ 3 Triliun, yang tidak boleh hanya di dominasi
Cina. Kemudian, tuduhan blok China-Rusia saat Indonesia menggelar Latihan
militer Bersama Amerika, Inggris, Australia, Kanada , South Korea, Malaysia,
Jepang dan lainnya (Garuda Shield, total 14 negara) bulan lalu, adalah upaya
Amerika dan barat membentuk “NATO” di wilayah pasifik. Namun, apakah ketegangan
poros Amerika- Barat vs Cina-Rusia akan mengakhiri permusuan barat terhadap
Islam?
Umat
Islam tidak bisa melihat kecenderungan beberapa saat terkahir ini untuk
menyimpulkan apa yang terjadi di depan. Pertama, sejarah 250 tahun kapitalisme
adalah sejarah di mana identitas dan kebudayaan telah mendominasi dan bahkan
menyingkirkan Islam. Kedua, isu “War on terror” yang dilancarkan barat teradap
Islam selama beberapa dekade belakangan ini, dilakukan secara biadab, demi
penguasaan wilayah dan asset strategis negara Islam. Stiglitz, dalam bukunya
“$3 Triliun War”, misalnya menganalisa
bahwa Amerika menyerang Irak paska 9/11, bukan utamanya urusan teroris,
melainkan penguasaan ladang minyak. Ketiga, apakah di dalam negeri-negeri
Islam, pemimpinnya mempunyai agenda kebangkitan Islam sebagai sebuah peradaban?
Peranan China di Indonesia dan Semangat Anti Islam Rezim Jokowi
Dalam
era kepemimpinan Jokowi, peranan China sebagai negara sahabat Indonesia
berkembang sangat pesat. Muhammad Zulfikar Rahmat, dalam
“Growing-ties-between-indonesia-and-china-may-hurt-us-indonesia-relationship”,
The Conversation (2020), melukiskan kuatnya peranan China dalam investasi dan
perdagangan antar negara. Hal ini tidak terlepas dari Luhut Binsar Panjaitan,
sebagai tokoh penting yang menjahit hubungan itu. Ekspor Indonesia ke China
mencapai 16,6 % dan impor kita mencapai sepertiga total impor, serta investasi
China di Indonesia naik menjadi nomer dunia terbesar setelah Singapura (2019).
Pemerintah Jokowi mengklaim bahwa trade deficit dengan China semakin kemari
semakin kecil. Namun, Reuters mencatat penurunan itu terjadi akibat ekonomi
kita yang merosot akibat pandemic. “The deficit shrunk considerably between
January to November 2020, falling to $7 billion from $15.4 billion in the same
period in 2019, as Indonesia's demand for imported products plunged amid a
coronavirus epidemic and its first recession in 22 years.” (Reuters, 13/1/21).
Atau sejatinya defisit dagang kita mencapai $15 Milyar, yang menunjukkan
ketergantungan Indonesia pada Chian.
Zulfikar
Rahmat, dalam “The China Factor in Indonesias New Capital City Plan“, the
Diplomat 2/2022, juga menyebutkan keterlibatan besar-besaran RRC dalam
membangun ibukota baru Indonesia di Kalimantan Timur. Khisore Mahbubani, dalam
“The Genius Jokowi”, The Asean Post, 7/10/2021, keterlibatan Indonesia dalam
projek Belt Road Initiative China antara lian adalah projek Kereta Api Cepat
Bandung Jakarta (KCIC), zone turis special di Jawa, the Kayan hydroelectric
plant” di Kalimanta Utara, “expansion of the Kuala Tanjung port in Sumatra” dan
pembangunan “the Lembeh international
airport in Sulawesi”.
Kedekatan
Jokowi dengan RRC juga ditunjukkan dengan mem- by-pass aturan perlindungan
buruh lokal dari serbuan TKA China. Bahkan dalam masa pandemic, buruh-buruh
China datang dengan frekwensi tinggi ke Indonesia, untuk projek-projek yang
Indonesia seharusnya memberi peluang pada pekerja sendiri. Bahkan, projek
tersebut disebutkan telah memberikan upah berkali lipat pada buruh import
tersebut. Problemnya, jika perusahaan asal China yang mempekerjakan buruh-buruh
impor ini bangkrut atau bermasalah, bagaimana memulangkan mereka ke negerinya.
Misalnya, Tsingshan Industry, pemilik konsesi nikel asal China yang hampir
menguasai semua pertambangan nikel kita, sedang mengalami “Short Position”
sehingga mengalami kerugian $7 Milyar pada bulan Maret lalu, yang dampaknya
mungkin terjadi sampai saat ini. Alferd
Chang and Fachry, dalam Financial Review, 9/3/22, memberi catatan “On Monday,
one of Tsingshan’s brokers – a unit of a state-owned Chinese bank – failed to
pay hundreds of millions of dollars in margin calls on its nickel positions”.
(untuk mempelajari lebih lanjut persoalan Tsingshan Industry, penguasa tambang
nikel Indonesia, dapat dilihat di
https://internationalbanker.com/brokerage/the-nickel-short-squeeze-what-happened/
. Hal ini penting didalami karena tujuan Presiden Jokowi ke Amerika baru-baru
ini bertemu Elonk Musk adalah persoalan bisnis terkait nikel atau batere)
Kekuataan
anti Islam ini tidak hanya dari masyarakat yang dikelola pemunculannya, namun
juga negara, melalui pemerintah, membuat berbagai narasi yang menyudutkan Islam,
seperti memfilterisasi pakaian Muslim untuk PNS, menyebarkan isu bahwa
Mesjid-masjid di lingkungan pemerintah banyak tersusupi radikalisme, melarang
ritual kaum Muslim yang sudah menjadi tradisi, seperti malam takbiran di jalan,
dlsb. Pemerintah sendiri misalnya, melalui Menteri Agama, mencoba mendegrasi
eksistensi kebudayaan Islam, seperti Azan Masjid, dengan membandingkannya
dengan gonggongan anjing (Seorang diantara pelapor kasus ini ke polisi di
Lampung, Bunda Merri, malah dilaporkan balik oleh pendukung Menag, sehingga di
penjara dan sedng di adili saat ini). Tak kalah pentingnya, lingkungan kampus
pun didorong untuk menyuarakan Gerakan Islamophobi dengan isu bahayanya
radikalisme di Kampus (salah satunya adalah Gerakan yang di pimpin Rektor
Unila, sebelum ditangkap KPK karena korupsi). Kemudian juga, membubarkan ormas
HTI dan FPI, tanpa menunggu keputusan pengadilan. Dan lain sebagainya yang di
masa sebelumnya, paska reformasi, hal seperti digambarkan di atas tidak pernah
terjadi
Hubungan kedekatan rezim Jokowi dan China, serta dampaknya pada Islamophobia di Indonesia, dapat kita perkirakakan berasal dari faham Komunisme rezim Tiongkok. RRC ini, meskipun mereka menjalankan ekonomi kapitalistik, saat ini, mereka tetap saja meyakini doktrin Komunis dan kepemimpinan otoriter dalam politik negaranya. Korban kekejaman rezim Komunis ini, di RRC, dapat kita lihat dari pembantaian etnis Islam secara massif di Uigur, XinJiang. Selain itu, Islam dipandang sebagai peradaban yang harus dihilangkan dalam pentas politik nasional, agar kedekatan China dan Indonesia dapat bertahan lama. Sebab, tragedi di masa lalu, seperti kasus G30S/PKI, China kehilangan persahabatan dengan Indonesia, setelah ummat Islam Indonesia bersekutu dengan militer dan barat dalam melawan pengaruh Komunis. Dugaan yang lebih sederhana adalah rezim Peking lebih merasa efisien berhubungan dengan Indonesia melalui penggalangan kelompok etnis Cina Konglomerat, dengan membangun oligarki, dan menguasai Indonesia dalam jangka Panjang. Kita mengetahui bahwa segelintir oligarki kita mempunyai loyalitas ganda, khususnya ketika diperlihatkan oleh banyaknya uang-uang Indonesia yang disimpan di Singapura atau luar negeri lainnya, dan seorang diantaranya viral mengaku bahwa “Cina adalah ‘ayah kandung’ mereka, seang Indonesia ayah tiri”. Sebaliknya, Islam, di mata Peking dan pendukungnya, umumnya kaum minoritas, adalah ancaman bagi eksistensi negara sekuler Indonesia.
Beban dan ancaman yang demikian berat yang dilami ummat Islam Indonesia oleh rezim Jokowi, terutama pada kasus pembunuhan yang melanggar hukum (Unlawfull Killing) pada 6 pemuda anggota lascar FPI di KM50 akhir Desember 21, pemenjaraan Habib Rizeq dkk., penembakan atas demontran pada aksi 21-22 Mei 2019, dan lain sebagainya, telah mengantarkan berbagai ormas Islam menggalang kekuatan anti Islamohobia di era Jokowi. Banyak orang bertanya, bukankah isu anti Islamophobia itu tepatnya hanya eksis di mana muslim sebagai minoritas? Namun, faktanya, Indonesia yang mayoritas muslim dikendalikan elit yang tidak bersahabat dengan Islam, sebagai sebuah ajaran peradaban, yang diakui oleh ideologi bangsanya, Pancasila.
![]() |
Enam orang laskar FPI korban unlawfull killing |
Tragedi paling terakhir ini, yakni kasus Ferdi Sambo, di mana polisi telah diidentikkan dengan sarang mafia, yang minim moralitas, menunjukkan instrument penindak lawan-lawan politik Jokowi itu, memang berada pada posisi yang sangat diametral berlawanan dengan peradaban Islami. Merujuk pada kemafiaan polisi ini, di mana mereka sangat dominan sebelum kasus Ferdy Sambo, tentu saja kebiadaban polisi pada ulama dapat dimengerti. Bagaimana membayangkan sebuah negara yang menganut demokrasi, memenjarakan ulama besar Habib Rizieq selama dua tahun di penjara bawah tanah? Untuk kesalahan yang tidak jelas. Sekali lagi ini lah bentuk Islamophobia akut.
Model Pembelahan Sosial di Era
Digital dan Islamophobia
Dalam
dimensi sosiologis, masyarakat Indonesia disebutkan antropolog Amerika Clifford
Gerz mempunyai ketebelahan sebagai berikut, pertama masyarakat dengan kultur
santri, kedua, dengan kultur abangan dan ketiga kultur priyayi. Santri merujuk
pada ketaatan teradap agama Islam. Abangan merujuk pada kultur animism.
Sedangkan priyayi merujuk pada aspek Hindu, yang eksis di Kraton. Dhuroruddin
Mashad, dalam buku “Politik Kaum Santri
dan Abangan”, 2021, menggunakan pembelahan ala Clifford Gerz sebagai awal kajian.
Selanjutnya , dia memperinci pengelompokan yang lebih terbelah antara santri
perkotaan dan pedesaan. Pembelahan merujuka komitmen pada Islam, terjadi versus
antara santri dan abangan. Pada pembelahan merujuk agama ini, Mashad memasukkan
kaum priyayi pada kelompok abangan juga, namun, memberi catatan bahwa, secara
kultural, priyayi yang mengalami pendidikan barat, sehingga keterlibatan mereka
pada moral elit terjadi. Priyayi dalam
ruang publik menjaga etika sosial, sebaliknya kaum abangan kelas bawah, merupakan
masyarakat yang terbuka pada praktik anti agama, seperti sabung ayam,
pelacuran, dukun, dll. Sehingga dalam kelompok abangan, Mashad membagi abangan
dalam abangan sekuleris (kaum priyayi) dan abangan marginalis.
Keempat
sub kultur pembentuk identitas masyarakat Indonesia, khususnya di Jawa, telah
membawa para ahli meyakini bahwa pembentukan partai politik diantara mereka
sesuai mewakili aspirasi sub-kultur mereka tersebut, di awal kemerdekaan,
seperti santri modernis membentuk Masyumi, santri tradisionalis membentuk
partai NU, abangan sekuleris membentuk PNI (Partai Nasional Indonesia) dan
abangan marginalis membentuk PKI (Partai Komunis Indonesia). Namun, tantangan
demi tantangan perjalanan bangsa menunjukkan pembelahan tersebut bersifat
dinamis, misalnya, adakalanya kerjasama dan konflik yang dalam terjadi tidak
mengikuti kemungkinan logik yang seharusnya. Misalnya, Ketika awal kemerdekaan
kelompok santri, baik tradisional maupun modern, keduanya sepakat Islam
dijadikan ideologi negara. Namun, hal itu tidak pernah terjadi lagi setelahnya.
Meskipun, semua kelompok santri percaya bahwa dalam Islam tiak dapat dipisahkan
antara agama dan politik. Sebaliknya juga terjadi dikalangan abangan, ketika
awal kemerdekaan, berkali-kali diperlihatkan konflik antara kelompok Komunis
dengan Nasionalis.
Pembelahan
ala Gerzt ini, sering pula tidak diterima oleh berbagai ahli. Harsja Bachtiar,
mengutip kutipan Dhurorudin Mashad, mengatakan bahwa priyayi tidak identic
dengan abangan Menurutnya, priyayi mempunyai multi spektrum dalam dirinya
seperti melakukan Sholat, puasa namun juga mempraktekkan ajaran mistis ataupun
rasionalitas barat. Irfan Afifi, dalam “Saya, Jawa dan Islam” (2019), menemukan
fakta bahwa Islam justru merupakan sumber ikatan budaya bagi orang Jawa. Menguti
Nancy Florida, penulis sejarah colonial dan penerusnya, justru memompakan
sejarah palsu sebagai pengingkaran atas berpadunya Islam dan Jawa dalan sejarah
kita. Pengingkaran sejarah ini juga ditunjukkan oleh Mansyur Suryanegra (2019)
misalnya, penulis sejarah kolonial menggambarkan kehancuran Kerajaan Hindu
Majapahit akibat serangan Raja Islam Demak. Padahal sejatinya peperangan antara
sesama kerajaan Hindu yang menghancurkan Majapahit. Menurtnya, itu adalah
taktik colonial untuk menanamkan kebencian orang Jawa yang bernuansa Hindu
kepad orang-orang Islam.
Lalu bagaimana kita melihat
Islamophobia secara sosologis di Indonesia?
Kita
harus meninggalkan model analisis Clifford Gerzt tentang pembelahan kultural
itu. Terutama, sepanjang beberapa dekade sebelum era digital, transformasi
Indonesia menjadi urban (perkotaan) berlangsung massif, pendidikan dan
universitas berkembang pesat, industrialisasi di pulau Jawa masuk ke berbagai
pelosok desa. Artinya terjadi benturan budaya dan transformasi budaya selama
itu. Sekarang, dalam era digital dan "Big Data" pengertian desa vs.
kota melemah. Era digital menciptakan kecepatan dan percepatan masyarakat
berinteraksi dengan data dan informasi. Efeknya adalah kehancuran struktural
pada kebudayaan lama, di mana hirarki menjadi keharusan.
Hirarki
baru dalam struktur masyarakat baru ditandai dengan penguasaan data dan
pengendaliannya. Dunia maya dan atau dunia digital dikendalikan Big Machine,
seperti Google, FB, Twitter, Instagram, dll. Kata kuncinya adalah algoritma.
Anak-anak muda millenial memahami jebakan algoritma, sehingga mereka tahu mana
fake, hoax dan fakta. Mereka semakin kritis, baik di desa, maupun kota.
Kemudian,
terjadi kesadaran identitas, tanpa menunggu arahan struktural atau afiliasi.
Baceprot, misalnya, kelompok musik tiga gadis Berjilbab asal Garut, tidak masuk
dalam jajaran elit musik Indonesia, versi "gaya lama". Namun,
sekarang mereka menjadi salah satu group musik yang meggemparkan medsos dan
identitas Islam. Mereka berkali-kali diundang tour musik meta di Eropa dan
lainnya, dengan percaya diri. Dihadapan ribuan pengunjung Konser Metal di
Jerman, penyanyi Baceprot berteriak lantang, "Kenapa saya pakai Jilbab?
", tanyanya. Kemudian dia lanjut menjawab, "karena ini simbol perdamaian
dan keindahan". Fenomena Baceprot ini adalah fenomena dunia baru, di mana
kesadaran perempuan desa versus kota tidak begitu berbeda. Dan semua ini
terjadi dalam era digital.
Dalam
kasus Ferdy Sambo, misalnya, juga nitizen, seperti yang diuraikan Ismail Fahmi,
Drone Emprit, tentang perang medsos, mayoritas nitizen tidak percaya dengan
keterangan awal polisi yang berusaha menutupi kasus tersebut. Bahkan, sebuah
anonim, Opposite, membongkar dan mempropagandakan terus menerus berbagai isu
terkait kasus ini, membentuk opini perlawanan. Dengan dunia maya, struktur dan
hirarki sosiologis lama ala Gerzt kehilangan makna.
Jika pembelahan sosial ala Gerzt tidak lagi
dapat diandalkan dalam membaca peta sosial, bagaimana posisi konflik ataupun
kolaborasi? Bagaimana peranan agama dan budaya?
Penjelasan
yang paling masuk akal atas pembelahan sosial yang mengandung Islamophobia di
Indonesia adalah skenario atau desain kelompok kekuatan tertentu, khususnya
kaum oligarki, yang memang ingin menghancurkan kekuatan rakyat. Kekuatan rakyat
ini, khususnya jika berbasis Islam, maka akan
menjadi benteng melawan ekpansi oligarki menguasai seluruh kekayaan
Indonesia. Oleh karenanya, Devide et Impera (pecah belah dan kuasai) adalah
agenda yang terencana dari kekuatan oligarki itu. Secara natural, benturan identitas maupun budaya, tidaklah
fenomena eksis, kecuali sekali lagi karena skenario jahat. Rakyat Indonesia dan
atau umat Islam dapat membangun kolaborasi dan harmoni, jika tidak dirusak oleh
kaum oligarki. Dalang gerakan Islamophobia dapat didalami dengan melihat kepentingan global barat, kepentingan RRC dan kepentingan oligarki Indonesia. Melihat fenomena Islamophobia hanya bisa lebih presisi melalui pendekatan kepentingan mereka. Kepentingan mereka untuk menguasai Indonesia akan berbenturan dengan Islam maupun umat Islam yang ideologinya untuk kepentingan sebanyak-banyaknya ummat manusia. Sebuah kebalikan dari kepentingan asing maupun oligarki lokal.
Untuk melawan kepentingan mereka, maka konsolidasi umat Islam harus mampu membangun kolaborasi yang paling sedikit mudharatnya (the lesser evil). Kolaborasi maksudnya memainkan sebaik-baiknya startegi dalam melihat kapan bekerjasama dengan kekuatan global barat maupun China, kapan meninggalkannya? Kapan menekan oligarki lokal dan kapan berkolaborasi? Semuanya harus dilakukan secara terdesain oleh kekuatan Islam yang terkonsolidasi dan dalam spirit anti Islamophobia.
(Paper Dr. H. Syahganda Nainggolan, MT, dalam Kongres Umat Islam Sumut ke- 2, di Asrama Haji Medan)
Komentar
Posting Komentar