ANIES BASWEDAN, CALON PRESIDEN DAN TOKOH KHARISMATIK DITENGAH ARUS POLARISASI KEPENTINGAN
Oleh : Mohammad Fatoni
(Penulis, Pengamat politik, Aktivis Perburuhan dan Anggota Dewan Pendiri DPP dan Pengurus Bronies, Jakarta.)
Masih segar dalam ingatan rakyat, ketika kali pertama Prabowo sang maskot oposan (pada waktu itu) Jokowi bertemu di stasiun MRT beberapa tahun lalu tepatnya pada tanggal 13 Juli 2019, sontak publik/rakyat (massa konstituen) dan elemen pendukungnya bereaksi keras dan kritis dan menunjukkan sikap kekecewaanya kepada Pendiri sekaligus Ketua Umum Partai Gerindra itu.
Perubahan avonturir sang jenderal dari macan Asia (saat pidato kampanye) menjadi kucing kampung (sarkasme dan sindiran keras yang sempat muncul dari masyarakat, ketika Prabowo merapat ke Istana), menambah kekecewaan pendukung Prabowo sekaligus menenggelamkan popularitas Prabowo sebagai ikon perlawanan, yang sejak awal telah tertatih-tatih mengusungnya hingga babak akhir penentuan perolehan suara kemenangan yang “dimenangkan” KPU kepada kubu Jokowi.
Rakyat Selektif Memilih Pemimpin
Meski Pemilu masih 2 tahun kedepan namun resonansi kampanye pemilihan calon-calon Presiden periode 2024-2029, sudah kembali menyeruak di tengah-tengah masyarakat. Sejumlah partai pun sudah mulai menggeliat dengan calon-calon Presidennya yang berasal dari kader-kadernya sendiri mapun dengan mengusung kader dari partai lain.
Semua partai-partai boleh boleh saja dan silahkan saja mencalonkan kadernya untuk ikut berkompetisi pada ajang pemilu nanti, program apapun yang dilakukan semua partai, bagaimanapun juga rakyat (massa konstituen) tetap yang memiliki hak mutlak dan yang menentukan siapa yang akan dipercaya dan dipilih menjadi Presiden RI nantinya,
Saat ini rakyat sudah paham betul pemimpin-pemimpin mana saja yang tidak pantas dan yang pantas untuk diangkat jadi Presiden RI periode 2024-2029. Karena rakyat sudah merasakan beban kehidupan yang sedemikian menghimpit pada era pemerintahan Jokowi saat ini. Rakyat akan sangat selektif memilih calon Presiden RI periode 2024-2029 dengan mendasari atas kriteria karakter yang jujur, amanah, berakhlakul karimah, cerdik pandai, shaleh, peduli dan mengayomi rakyat, tegas serta bijaksana dalam mengambil setiap keputusan.
Berangkat dari realitas empiris tersebut, rakyat sudah banyak yang mempelajari dan mengamati calon-calon pemimpin yang digadang-gadang oleh partai-partai politik yang menurut pengamatan, tidak ada kriteria pemimpin yang kharismatik : jujur, amanah, berakhlakul karimah, cerdik pandai, shaleh, peduli dan mengayomi rakyat, tegas serta bijaksana dalam mengambil keputusan, kecuali yang ada pada pribadi Anies Baswedan dengan tutur kata yang simpatik dan lemah lembut, persuasif dan edukatif.
Keunggulan ‘Komparatif’ dan ‘Kompetitif Anies Baswedan
Dalam telaah subyektif dan obyektif, sosok calon Presiden Anies Rasjid Baswedan (ARB) memiliki keunggulan “komparatif” yang jauh melebihi rival-rivalnya, baik dalam kontek sikap kenegarawanannya, kadar intelektualitasnya, maupun dalam pelaksanaan konsep-konsep phase pembangunan Kota Jakarta (keunggulan ‘kompetitif’-nya) dalam bingkai poleksosbudhankamkum-nya, yang hingga hari ini terbuktikan dan semua janji-janji kampanye telah tertunaikan dengan baik.
Keunggulan “komparatif” yang ada pada karakteristik dan watak dari diri beliau, seperti diantaranya : Pertama, kesetiaannya pada idealisme dan konsistensi dalam perilaku yang berakhlak dalam Islam tidak diragukan lagi, dan hal ini sudah menjadi bukti dan berhasil dapat bekerja sama secara korporatif memperebutkan kursi gubernur DKI Jakarta, kota terbesar yang penduduknya juga terbesar dan merupakan potret replikatif miniatur masyarakat pluralistik dari seluruh Indonesia.
Kedua, kedudukan jabatan ARB yang saat ini menjabat sebagai Gubernur DKI, dan dikenal luas oleh semua kalangan dan rakyat dari Sabang sampai Merauke bahkan di dunia internasional sekalipun, karena posisi kepemimpinannya di sebuah wilayah yang bernama Ibukota Negara Republik Indonesia, sungguh menjadi modal sosial, politis maupun kultural yang sangat strategis bagi pencalonan beliau sebagai calon Presden di kemudian hari.
Dan dalam fora-fora internasional pun beliau dikenal sebagai pemimpin Ibukora Negara yang memiliki sense of developing being modernize akan konsep penataan dan pengembanan sebuah kota moderen. Sulit dipungkiri bahwa, Jakarta menjadi center of interest bagi semua kalangan untuk dilihat, diamati, dicermati dah bahkan dijadikan riset akan penataan lanskapis tata ruang publik berikut dengan lingkup administrasi yang menjadi keunggulan tersendiri bagi subyek penguasa kota Ibukota Negara Republik Indonesia.
Keunggulan dan potensi ARB sebagai Calon Presiden pada Pilpres 2024 tentunya sudah diperhitungkan oleh kelompok-kelompok sekuler anti Islam, Islamophobia, kelompok radikal kiri, pengusaha kelas hitam, dan kelompok lainnya yang tidak menghendaki ARB maju sebagai calon Presiden 2024-2029.
Anis Ditengah Arus Pusaran Kepentingan
Jika mencermati polemik pro-kontra narasi-narasi yang berkembang di media sosial maupun di media-media mainstream, memberikan deskripsi bahwa ARB bukan lagi sekedar Gubernur DKI Jakarta saja, akan tetapi beliau sejatinya sedang bertransformasi menjadi tokoh nasional dan internasional hingga derasnya tuntutan akan perubahan politik dari rezim despotik (koersif dan represif) saat ini, kepada terciptanya rezim kerakyatan yang mengayomi, dengan menjadikan Anies Baswedan sebagai kandidat calon Presiden 2024.
Seluruh kebijakan dan tindakan-tindakan konseptualnya sebagai Gubernur DKI Jakarta bukan hanya kepentingan penduduk DKI saja yang terakomodasi, akan tetapi saat ini mendapat porsi perhatian nasional, baik yang mendukung maupun yang menantang. Bahkan kebijakan-kebijakan yang tidak substansial telah diexploitasi sedemikian berlebihan tidak seperti biasanya, dan ini menandakan adanya antithesa yang sedang bermetamorfosis menjadi iklanisasi ikon sosok pemimpin yang men-Nasional dan digandrungi rakyat seluruh Indonesia.
Artinya meskipun Anies Baswedan coba ‘dihabisi’ dalam beragam sudut pandang penilaian, tapi feedback-nya malah menjadikan Anies sosok dan tokoh yang disegani pihak kawan dan lawan seluruh rakyat Indonesia baik dari entitas suku, agama, ras maupun antar golongan.
Saat ini genap dua tahun menjelang pemilihan Presiden, suka atau tidak, ARB (menjelang Pilpres maupun pasca keterpilihannya menjadi Presiden RI) dan para pendukungnya dapat dipastikan menghadapi kompleksitas perang antar kepentingan, karena adanya muatan kepentingan partai, kepentingan pengusaha (konglomerasi hitam), kepentingan rakyat (kecil) pada umumnya yang harus diprioritaskan, diwaspadainya kelompok-kelompok avonturir yang memotong dipersimpangan, kepentingan investasi asing melalui TNC-MNC (neo-kolonialisme), kelompok pemodal dalam negeri, kelompok sekuler, aliran kiri sosialis (neoleftis) dan kelompok Islam tradisional-abangan, maupun kelompok Komunis-Maoisme yang saat ini merambah pada jaringan-jaringan akar rumput yang terkoordinasi, serta lawan-lawan politik dari kandidat lainnya yang ikut dalam kontestasi calon Presiden.
Kelompok kepentingan agama sebagai basis strategi ideologi dan pendekatan pragmatisme di lapangan tentu menjadi perhatian dan prioritas utama, meski adanya tuduhan sumbang dengan penyebutan ‘politik identitas’, pendekatan kepentingan keagamaan akan melekatkan massa konstituen kepada komitmen kebaikan dan moral serta nilai-nilai ideal Pancasila.
Kelompok kepentingan dari pihak lawan sebagaimana yang dipetakan oleh Isa Ansori dalam esainya : “Akankah Membiarkan Anies Sendirian?” (29 Mei 2022) pun perlu mendapatkan pertimbangan dan counter attack melalu narasi-narasi konstruktif meski mereka melakukan dengan kampanye hitam ataupun dan fitnah yang keji dan melampaui hukum pidana, namun demikian “mesin kerja” Bronies dan jaringan nasionalnya yang lain, bekerja dengan penuh profesionalisme dan proporsional.
Semenjak lebih dari 7 dasa warsa tepatnya sejak Proklamasi dikumandangkan, posisi geo-politik Jawa Kultural dalam peta politik di Indonesia hingga saat ini masih menjadi area dominan dan signifikan. Jawa dalam kebanyakan analogi dan tipologi perilaku politik mewarnai peta sejarah perjuangan kebangsaan dan kenegaraan sejak Majapahit menancapkan batas-batas geo-politik kenusantaraannya pada abad ke 15 hingga hari ini kita rasakan pengaruhnya.
Alhasil, jika kita cermati, bahwa Jawa yang secara relief topografisnya merupakan “dasar mangkuk” dari keberadaan pulau-pulau besar dan kecil diatasnya memberikan makna filosofis, bahwa interaksi kultural yang singkretis dari Jawa dan kebudayaannya perlu mendapatkan pendalaman riset dan praktik dikemudian hari.
Telaah anthropologis yang dilakukan Anton Nugrahanto dalam “Jawa, Politik Identitas dan Anies Baswedan” (Gesuri.id), memberikan ulasan bahwa memang budaya Jawa dengan segala manifestasinya bukanlah sebuah kebudayaan yang lahir dengan keistimewaan hak monopolistiknya, karena latar kelahirannya dipengaruhi oleh beragam budaya yang tersinkretis di dalamnya.
Menjadi sesuatu yang berbau Jawa, jadi obrolan paling hangat terkait ucapan Anies yang menyatakan dirinya sebagai Jawa Tulen dan asli dari Yogya. Ya benar sekali, memang tak ada yang salah dalam ucapan Anies, karena dalam pandangan konsep, Jawa bukanlah sebuah kesukuan yang kaku. Jawa adalah hal yang cair dan punya watak aslinya sinkretis, jadi siapapun bisa menjadi Jawa.
Kita tengok ke belaklang tentang tokoh-tokoh nasional yang concern dengan singkretisme budaya Jawa seperti dengan Rudi Hartono pebulu tangkis lebih dianggap orang Jawa ketimbang keturunan Cina, Liem Swie King yang wajahnya mirip Jacky Chan lebih diingat sebagai ‘orang Jawa dari Kudus’, Raden Saleh pelukis dianggap orang Jawa dari Semarang ketimbang keturunan Arab Yaman, di dunia kebangsawanan Mataram ada RM Setjodiningrat yang keturunan Cina tapi dianggap punya keningratan tinggi sampai keturunannya yang sekarang menggunakan nama belakang Setjodiningrat penuh dengan kebanggaan. Ahok-pun lama lama bisa dianggap Jawa karena punya isteri orang Jawa dan sudah belajar serius untuk menjadi orang Jawa.
Polemik pengejaran identitas Jawa tampaknya juga dilakoni Anies Baswedan. Kalau ditilik dari seluruh diri Anies, yang ‘tidak jawa’ hanya fam-nya saja. Seluruh diri Anies adalah Jawa, ia mungkin berpikir dalam bahasa Jawa, ia bermimpi-pun kemungkinan besar dengan bahasa Jawa. Cara bicaranya dengan logatnya yang sangat Yogya lebih mirip anak anak Sayidan yang menuangkan air kedamaian ketimbang gaya anak anak Jakarta seperti Sandiaga Uno.
Anies pun merupakan paradoks, secara bawah sadar ia sangat nyaman dengan posisi intelektual akademisnya ketimbang bergabung secara frontal dengan kelompok politik agama, inilah yang menjelaskan kenapa Anies lebih memilih tokoh perempuan berpikiran amat liberal macam Nursjahbani Katjasungkana ketimbang tokoh penting gerakan jalanan macam Habib Novel Bamukmin yang fenomenal itu.
Tak ada yang salah dengan pengakuan Anies sebagai “Orang Jawa Tulen” yang salah adalah kecurigaan jangan jangan Jawa Tulen ini akan dibentuk menjadi “Gerakan Politik ala Eep” tau sendiri kan bagaimana gerakan politik ala Eep yang mengedepankan emosi identitas ketimbang rasionalitas pemilihan berdasarkan jejak rekam keberhasilan. Kemenangan politik bisa dilakukan dengan pengawalan konflik identitas menjadi tren yang berhasil mengalahkan sampai memenjarakan Ahok.
Inilah yang kemudian menjadi kekuatiran banyak pihak, dalam pola polemik sekarang RUU HIP saja bisa dipelintir oleh para spin doctor menjadi gerakan untuk mengganti Pancasila. “Hantu PKI” menjadi bentuk solid ketakutan politik yang dibentuk eforia-nya. Dan kini “Jawa Tulen” mulai pelan pelan disodorkan menjadi polemik baru yang terus menjadikan kredit rating Anies dalam permainan permainan panggung politik. Ya...tak ada yang salah dengan KeJawaan Anies, yang salah adalah bila kemudian “The Eep Game Theory” dijadikan bagian dari permainan politik 2024. Demikian ulasan analogik mitologi kekuasaan Jawa dan singkretisme multikulturalisme dari Anton Nugrahanto, sebagai penutup narasi ini. ***
Komentar
Posting Komentar