ANATOMI KAPITALISASI KEKUASAAN DAN KAUSALITAS KORUPSI DI INDONESIA



Oleh : Mohammad Fatoni. 

(Penulis adalah Anggota Dewan Pendiri dan Pengurus DPP Bronies)


Ketika anda memiliki angan-angan ingin menjadi penguasa, pemimpin dalam suatu area wilayah, atau pejabat negara, tentu anda harus berpikir seberapa besar dana (social purchase) yang dibutuhkan untuk melenggang kearah sana. Suatu perhitungan yang logis dan penting bukan ?. 

Dalam tataran masyarakat birokrat berstruktkur paling rendah seperti didesa seraya pejabatnya disebut sebagai kepala desa atau “kuwu”, dimana hierarkhi prosesi penjabatannya tanpa melalui perekrutan karir pemerintahan. Karir jabatan setingkat Kepala Kampung tersebut dipilih secara langsung oleh warga yang berasal dari anggota Rukun Warga (RW) dan atau Rukun Tetangga. 

Pola, Jenjang seleksi dan perekrutan jabatan kepemimpinan kampung ini, sungguh tidak berbeda jauh dengan kekuasaan elit di lembaga-lembaga kekuasaan politik. Ada proses pendaftaran, tahap seleksi dan kampanye isu dalam rangka mencari dan mendulang suara pemilihan, yang kesemuanya itu membutuhkan dana operasional politik yang tidak sedikit.

Melalui tipologi politik penjabatan sederhana seperti ini, tentu setiap individu di desa diharuskan untuk  berpikir jauh lebih, jika ingin menduduki status terhormat sebagai kepala kampung, memiliki modal yang cukup untuk bisa bersaing dengan kandidat lain dan mengalahkannya.

Dalam memetakan kondisi sosial politik (tradisional) di pedesaan semodel kekuasaan pheriperal tersebut, tentu ada dua motif yang berkembang di setiap benak kandidat. Pertama  motif status sosial dan Kedua, motif bertendensi komersial dibalik jabatan yang telah disandangnya nanti. 

Model kedua ini kerap mendorong kandidat tertentu  maju menjadi calon kuwu dengan mengerahkan sumber daya yang dimilikinya termasuk para pendukungnya. Kendati demikian, efek kalkulasi investasi kekuasaan ini tidak selalu membawa nilai tambah bagi pundi-pundi  yang telah dikeluarkannya, baik menjelang pemilihan maupun pada pasca pemilihan, kemenangannya dan menjelang jabatan yang sudah sudah masuk phase demisioner (dekonstruksi structural). 

Hasil ekonomi (economic gain) pada akhir periode jabatan, ini sangat bergantung pada aset-aset sumberdaya yang ada di kampong tersebut berikut dengan struktur demografis penduduknya yang bisa dijadikan ekspoitasi sumberdaya. Bila struktur profitabilitas sumberdaya relative rendah dan tidak membawa nilai  tambah, maka pada kondisi seperti ini, bisa jadi motif pertama menjadi pilihan.

Motif yang kedua inilah yang pada umumnya sangat mempengaruhi orientasi dan karakteristik kekuasaan yang akan dibawa oleh subyek penguasa di kampung-kampung. Mengapa demikian ? 

Karena, motif ini menjadi isu-isu yang berkecederungan spekulasi transaksional jabatan. Artinya, jika kandidat menang dalam pencalonannya, maka kemungkinan modal (kapitalisasi) yang ia investasikan selama masa prapemilihan hingga pada pelantikannya, yang telah menelan biaya yang tidak sedikit, dapat dimungkinkan untuk bisa kembali dengan harapan ada selisih nilai lebih (baca : profit taking) dari nilai modal yang pernah ia keluarkan. Namun demikian, pada kondisi sebaliknya, modal yang ia keluarkan akan hilang percuma jika yang bersangkutan tidak memenangkan dalam ajang pemilihan pemimpin lokal (desa/dusun). Disinilah letak spekulasi dagangnya.

Pada tahap ‘menjadi penguasa’ pasca pelantikan yang dilakukan oleh struktur lembaga yang lebih tinggi diatasnya, pemimpin local traditional tersebut, tentu saja akan berhitung secara ekonometris, bahwa seberapa besar sejumlah biaya yang pernah ia keluarkannya, dan seberapa besar pula tingkat efek pengganda yang secara profit taking dapat ia raih dari sejumlah alokasi kegiatan yang akan dilakukannya sepanjang tahun, dan berapa besar pula aliran cash flow sumber-sumber pendapatan penduduk masyarakat,  hingga kembali menutupi pundi-pundi yang pernah bolong karena biaya politik ketika masa jabatannya akan berakhir.

Fenomena tipologi korupsi dalam kekuasaan peripheral yang terjadi di hampir semua lini Struktur Pemerintahan Desa/Dusun, di bawah Pemerintahan Daerah Tingkat II, sejatinya tidak berbeda jauh pada tataran konstelasi elit sosial politik yang terjadi dalam beragam jabatan-jabatan (government public figure) politik/negara di seluruh Indonesia. 

Hanya saja perbedaannya terletak pada posisi sponsor yang terbentuk dan membentuk diri dalam bangunan korporasi/konsorsium kapitalisasi yang terdiri dari beberapa lapis/jenis pengusaha yang ikut menyokong secara materil/imateril kepada para calon-calon kandidat penguasa metropolis (KDH I, II maupun Presidensial), baik langsung maupun tidak langsung.

Sedangkan untuk proporsi penguasa lokal tradisional (setingkat desa) tidak memiliki sponsor yang meng-‘gurita’ sebagaimana sponsor yang ada pada tataran suksesi kepemimpinan para Kepala Daerah (KDH) Tingkat I/II.

Kausalitas struktur korupsi yang sistemik seperti ini, dan menjadi keprihatian banyak pihak sungguh sangat sulit untuk dicarikan rumusan penyelesaian secara sedehana. Ruwednya solusi yang akan dirumuskan, karena menyangkut kompleksitasnya potret realitas sistem demokrasi dan bentuk ketatanegaraan yang dibangun dan berlaku di Indonesia, meski sejatinya Indonesia tidak mengenal demokrasi imporan sebagaimana amanat philosofische grondslag Pancasila yang tidak mengenal  demokrasi liberalisme. 

Untuk tipologi pejabat negara setingkat Anggota Dewan dan atau representasi dari perwakilan partai di Dewan Perwakilan Rakyat (Daerah) cenderung tidak memiliki sponsor kolektif maupun yang bersifat tunggal. Kendati demikian tidak tertutup kemungkinan ada juga beberapa fakta-fakta kasuistis memiliki sponsor kolektif/ tunggal. Sulit juga dipungkiri, bahwa bahwa sistem kepala agen dalam demokrasi partai (internal) juga menjadi fatsoen pola kepemimpinan yang koruptif, karena hampir 100% Ketua Umum lebih memainkan kekuatan subyektifnya dalam mengemudikan partainya mengikuti birama sponsor dibelakangnya. 

Ketika kekuasaan berhasil berlabuh pada koordinat yang semestinya, proses perhitungan profitabilitas korupsi mulai dijalankan dan itu berlaku bagi semua jenjang jabatan publik baik yang dilahirkan oleh publik (direct vote)  maupun lahir atas kehendak perekrutan karir dari institusi yang bersangkutan yang disponsori oleh partai-partai politik. Pada strata jabatan publik ini, dikenal dengan jabatan-jabatan Komisaris Badan Usaha Milik Negara/Daerah.

Artinya jika jabatan politik (lokal/nasional) memerlukan investasi kapital (uang) sementara jabatan-jabatan staf administrasi maupun peningkatan jenjang karir kepegawaian (baca : lelang jabatan), tentu saja memerlukan investasi  down payment dalam bentuk ‘uang pelicin’ ataupun ‘uang pelicin’ guna memudahkan kelancaran pola perekrutan jenjang jabatan dimaksud. 

Anatomi struktural korupsi sebagaimana terdeskripsikan dalam model diatas, merupakan buah pengaruh dari transaksi dan investasi politik kapitalisasi jabatan yang saat ini masih menjadi model-model mutakhir dan trending di Indonesia dan bahkan terjadi juga di beberapa negara-negara dibelahan bumi manapun.

Ketika model-model kapitaliasi kekuasaan tersebut bersemayam dalam jabatan-jabatan di semua lini kekuasaan, maka tak heran kapitalisasi kekuasaan dalam masyarakat birokrat menjadi ajang penjarahan keuangan negara yang notabenenya merupakan uang rakyat (baca :pajak) secara korporat.  Terminologi ini pernah pertama kali dilontarkan oleh kelompok berhaluan kiri di tahun-tahun revolusi dengan sebutan “Kapitalis Birokrat” (baca: Kabir), karena mental,  karakter dan jiwa birokratnya bernafaskan kapitalistik tidak memihak kepada hak ulayat rakyat yang memiliki kedaulatan. 

Sedangkan dalam struktur masyarakat birokrat yang lahir karena adanya perjenjangan dalam karir, tipologi korupsi disini pada umumnya dilakukan secara personal dan tidak tertutup kemungkinan berkoloni dengan pengusaha-pengusaha baik dari jajaran kelas teri maupun kelas kakap. 

Sebenarnya ruanglingkup model-model korupsi di Indonesia secara filosofis terbagi atas 3 (tiga) determinasi (pandangan pemikiran): Korupsi dalam determinasi ideologis, ekonometris dan geo-ekologis. 

Paparan tipologi dan sistematika korupsi tersebut diatas masuk dalam kategori korupsi dalam tinjauan studi ekonomentrik, namun demikian ketiga tipologi tersebut sangat dipengaruhi atau teruang-lingkupi oleh korupsi  dalam determinasi pertama, yaitu korupsi dalam perspektifi deologi.  Sedangkan dalam determinasi ketiga adalah sebuah tipologi korupsi yang mengingkari struktur alam peruntukan yang dilakukan olehpihak-pihak yang memiliki otorita an kompetensi di bidangnya. Seperti contoh sederhana, Negara kita secara factual adalah Negara Maritim atau Negara Kepulauan terbesar di dunia, yang secara geo-politik adalah yang hamper sebagian besar tataran topografisnya terdiri dari 2/3 lautan. Lalu mengapa pula muncul idiom-idiom dan pandangan yang mengarah kepada orientasi menjadi bangsa “Negara Agraris”? 

Sebagai contoh, Indonesia lebih berkecenderungan negeri maritim, namun dalam alokasi kegiatan (penganggarannya)kulturalnya lebih mengutamakan agrarian, padahalg aris pantai di Indonesia sebagai negara kepulauan(archipelago island) merupakan negara dengan struktur garis pantainya terpanjang didunia. 

Pada Determinasi korupsi ideologis (baca: Dasar Negara) akan penulis narasikan pada edisi selanjutnya. Namun sebagaig ambaran pemahaman, determinasi korupsipada pemikiran pertama, sesungguhnya menjadi dasar terjadinya kerusakan seluruh sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara (poleksosbud) termasuk mentalitasdanwatakkoruptif yang terjadis elama hamper lebih dari 4 (empat) dasawarsa terakhir. 

Mengingat tataran ideologisnya beralokasikan program “poleksosbud”-nya  bersendikan atas asas “Gotong Royong” (sosio nasionalisme,sosio demokrasi), namun fakta yang berlaku, adalah implementasi ekonominya berasaskan konglomerasi dan liberalisasi ekonomi sumber-sumber daya dengan kerangka kerja sistem kapitalisasi yang hanya dikuasai oleh kaki-kaki oligarki (MNC/TNC) kekuasaan politik ekonomi, yang sungguh sangat jauh dari amanat cita hukum dasar nasional tersebut. Pada terminologi seperti ini, sudah dapat dikategorikan korupsi (penyimpangan) terhadap ideologi negara. 

Jelasnya adalah, bahwasanya korupsi ideologis terjadi karena adanya pengingakaran ideologi (pandangan hidup) bangsa dari proyeksi sendi-sendi kehidupan yang teranggarkan dalam kelima pada Pancasila, sementara sistem politik dan perekonomian yang diberlakukan dan diamalkannya adalah ekonomi kapitalistik yang tidak memihak kepada seluruh bangsa Indonesia dalam terminology “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. 

Ini tentu saja termasuk satu sikap pandangan, perilaku dan ataupun sikap yang koruptif (penyimpangan) jika dikaitkan dengan semangat dan sistem pandangan hidup (weltanschaung’) sebagaimana terjabarkan dalam Pancasila.**


Jakarta,  28 Mei 2022.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa Yang Tidak Dipersoalkan Dari Anies?

Sandiaga Seharusnya Minta Maaf Kepada Anies, Itu Fitnah

Anies Mengusung Politik Ahlak Bukan Politik Identitas